Rabu, 08 September 2021

Sabtu, 12 Desember 2020

KENALI ALAT YANG DIGUNAKAN UNTUK PERTAMBANGAN BATUBARA TERBUKA BESERTA FUNGSINYA


 Pertambangan batubara di NKRI masih menjadi sumber utama untuk ketersedian energi negara ini, selain dengan metode tambang terbuka batubara juga dapat lakukan proses gaasifikasi bawah permukaan namun masih sangat terbatas dan masih dalam tahap perkembangan untuk di Indonesia (ditahun 2020 ya). berikut ini perbandingan pemanfaatan energi terbarukan untuk diseluruh dunia.

karena metode tambang terbuka masih sangat umum digunakan maka mari kita bahas alat apasaja yang digunakan dalam industri batubara tambang terbuka.

1. Dump Truck

Dump Truck atau biasa di singkat DT adalah kendaraan roda empat yang digunakan untuk mengangkut material batubara ke stockpile ataupun material overburden menuju disposal. Kelebihan menggunakan dump truck adalah kecepatannya dalam mengangkut sehingga dapat meningkatkan proses produksi serta keadaannya yang fleksibel dan dapat dipakai untuk membawa banyak barang-barang (www.agincourtresources.com). Dalam jenisnya, dump truck dapat digolongkan menjadi 2 yaitu:

Berdasarkan tenaga penggerak, di antaranya:

  • Front wheel drive.
  • Rear wheel drive.
  • Double Rear wheel drive.

Berdasarkan cara dumping

  • End-dump.
  • Side-dump.
  • Bottom-dump.

sumber : unsplash.com 

2. Excavator

Excavator pada industri tambang fungsinya seperti pada umumnya yaitu melakukan pengerukan material guna mendapatkan batubara. Excavator lebih difokuskan untuk penggalian diarea tambang (www.autoexpose.org), ada tiga jenis excavator yakni:

  • Back hoe, merupakan jenis excavator yang paling banyak digunakan. Dengan arah bucket kedalam sehingga cocok untuk penggalian.
  • Front shoevel, jenis excavator yang memiliki bucket kearah depan. Fungsinya untuk mengikis tebing dan batuan.
  • Dragline, merupakan excavator berukuran besar yang digerakan menggunakan lengan crane dan kawat. Jenis ini dapat memuat material dalam jangkauan luas dan volume besar.
sumber : unsplash.com

3. Bucket Wheel Excavator (BWE)

Bucket Wheel Excavator atau BWE merupakan alat yang digunakan untuk memindahkan material tambang dari lokasi penambangan ke tempat lainya (stockpile) yang disambungkan dengan belt conveyor. Bucket-wheel excavator (BWE) adalah alat berat yang digunakan di penambangan terbuka. Fungsinya adalah sebagai mesin pengeruk atau penggali skala besar dan kontinu. BWE mirip dengan bucket-chain excavator, namun dibedakan dengan penggunaan roda yang memiliki banyak "ember" (bucket) di sisi-sisinya yang digunakan untuk mengeruk secara bergantian (id.wikipedia.org).

sumber : unsplash.com 

4. Belt Conveyor

Belt conveyor merupakan eskalator untuk material tambang, digunakan untuk memindahkan batubara dengan cepat. penerapan conveyor belt di pertambangan, umumnya digunakan material yang kuat dan tahan terhadap cuaca maupun kondisi extrem di dalam tambang. Sabuk pengangkut barang tambang umumnya terbuat dari kawat baja maupun rantai yang memiliki daya tahan yang lebih baik dibanding material lain. Konstruksinya pun dibuat sangat kuat mengingat hasil tambang juga memiliki bobot yang cukup berat (www.dnm.co.id).

Selain untuk memindahkan barang, ada pula scraper conveyor yang memiliki kelebihan untuk menggali tanah, mengangkut, serta memindahkan muatan tambang. Alat ini sangat berguna dan efisien untuk material tambang yang tidak terlalu dalam.


sumber : unsplash.com 

5. Bulldozer

Bulldozer digunakan untuk meratakan jalan dan memindahkan material kerukan dengan jarak yang dekat. Pada bagian depan bulldozer kta bisa menemukan blade. Bagian ini termasuk komponen multifungsi, diantaranya digunakan untuk memotong serta mendorong permukaan tanah. Beralih ke bagian belakang terdapat ripper untuk menghancurkan struktur permukaan tanah yang tidak dapat di-handle oleh blade (kirimalatberat.com).

Dibagian tengah bulldozer terdapat frame atau tempat dudukan track shoe. Komponen mesin sebagai sumber penggerak utama berada di atas track frame. Ditempat yang sama juga terdapat radiator untuk mendinginkan mesin.

sumber : unsplash.com 

6. Grader

Grader memiliki fungsi yang hampir sama dengan bulldozer namun grader khusus digunakan untuk meratakan jalan dari gundukan tanah. Grader adalah alat wajib karena fungsi nya adalah untuk menyapu jalan agar jalan selalu mulus, ada dua buah alat yang terpasang pada motor grader di antaranya. Blade atau bisa kita sebut pisau adalah alat yang berada di depan operator yang bisa di control ke kanan dan ke kiri, berputar 90 derajat pun bisa. Blade berfungsi untuk meratakan tanah yang biasanya bergelombang jika tanah tersebut sering di lewati alat – alat besar seperti Dump Truck, Haul Truck dan lainnya. Selain meratakan tanah blade juga bisa menyapu becek di atas jalan ketika sehabis hujan, blade juga bisa meratakan pasir, koral, batu bara dan material lainnya. Sebenarnya blade juga ada pada unit seperti bulldozer namun jika di gunakan untuk perawatan jalan tentu saja tidak cocok karena menggunakan track, bukan nya bagus malam rusak nanti (kuli-tambang.blogspot.com).

Jika kamu ada membaca postingan saya sebelumnya “Fungsi Ripper Pada Exacavator dan Bulldozer di Pertambangan” maka kamu akan tahu fungsi dari ripper ini, namun perbedaan nya ripper punya motor grader kecil dan tidak sekuat ripper excavator atau bulldozer. Ripper pada Motor Grader lebih kepada mengemburkan tanah yang ada di jalan, karena terkadang ada itu tanah yang keras atau ada bongkahan batu maka ripper belakang nya ini lah yang membantu menggemburkan nya.

sumber : wallpaperaccess.com

7. Tandem Roller

Tandem roller dapat memadatkan jalan dengan memberikan tekanan pada roda bagian depan. Terdapat berbagai macam roller yang biasa dipakai pekerjaan konstruksi, masing-masing mempunyai bentuk yang berbeda sesuai kegunaannya, Klasifikasi roller yang banyak dikenal antara lain:

1)  Berdasar cara bergeraknya, ada yang bergerak sendiri (self propelled) dan ada yang ditarik traktor (towed).  
2) Berdasar bahan roda-roda penggilasnya, ada yang terbuat dari baja (steel wheel) dan ada yang terbuat dari karet (pneumatic).
3) Dilihat dari bentuk permukaan roda, ada yang bentuk permukaannya halus (plain), segment, grid, sheepfoot (kaki domba) dan lain-lain. 
4)  Dilihat dari susunan roda-roda gilas, ada yang beroda tiga (three wheel), tandem roller (roda dua) dan three axle tandem roller. 
5) Alat penggilas khusus, misalnya vibrating roller bekerja menggunakan getaran sebagai unsur utama dalam usaha pemampatan tanah.

sumber : indonetwork.co.id

8. Mobil LV (Operasional)

Mobil operasional digunakan dalam memudahkan engineer dalam melakukan pemantauan lapangan dan transfortasi lainya yang menyangkut kegiatan penambangan.

sumber : unsplash.com

9. Drill

Drill atau mesin bor merupakan alat yang digunakan untuk membuat lubang kedalam permukaan bumi dengan berbagai fungsi diantaranya yaitu untuk eksplorasi sumberdaya, membuat lubang bor blasting.

sumber : mecmining.com.au



Selasa, 10 Desember 2019

KRISTALOGRAFI

A. Pengertian Kristalografi
B. Unsur Simetri Kristal
C. Sistem Kristal
D. Indeks Miller
E. Hukum Kristalografi
F. Klasimetri Herman Mauguin
G. Klasimetri Schopnflish

Rabu, 22 Agustus 2018

Logo Himpunan Geologi di Indonesia HD

Himpunan Mahasiswa Geologi di Indonesia yang telah berdiri hingga saat ini memiliki logo atau lambang yang berbeda-beda, yang memiliki arti dan makna tersendiri. Berikut beberapa logo hingga tahun 2018





































Sabtu, 12 Mei 2018

Kuliah Jurusan Teknik Geologi

Teknik Geologi adalah bidang ilmu yang membahas mengenai sejarah , kondisi permukaan dan bawah permukaan bumi dan komponen yang menyusunya, lulusan Teknik Geologi pada umumnya berkerja dibidang eksplorasi dan grade control pada industri pertambangan mineral, migas, geothermal, dan batubara. bagi yang berminat untuk kuliah di jurusan ini terdapat beberapa fokus bidang yang secara umum yaitu sebagai berikut :

1. Industri Mineral 

Tambang Emas Terbuka Gosowong, PT. Nusa Halmahera Minerals
Mineral digunakan manusia dalam berbagai bidang dan memiliki kegunaan yang bermacam-macam, seperti emas sebagai bahan perhiasan atau alat pembayaran serta lainya yang memiliki nilai yang sangat tinggi, selain itu seperti nikel, biji besi, dan beberapa masih banyak mineral lainnya yang saat ini masih banyak belum dieksplorasi di Indonesia. 
Tambang Emas Bawah Permukaan, PT Nusa Halmahera Minerals
beberapa perusahaan besar seperti PT Nusa Halmahera Minerals, PT Freeport Indonesia dan lainnya adalah yang berkembang dalam industri mineral di nusantara. Peran seorang geologist adalah mencari dan mengestimasi keterdapatan bahan tambang.

2. Geothermal
Energi geothermal merupakan sumber energi yang berasal dari panas bumi yang dapat diperbarui, Indonesia yang terletak di Ring of fire memiliki potensi yang sangat besar, geotermal dapat menjadi solusi dari krisis sumber daya yang terjadi saat ini. PT Pertamina Geotermal Energi telah mengembangkan sumber energi ini dibeberapa lokasi di Indonesia.


PT Pertamina Geothermal Energi

3. Minyak dan gas bumi
Minyak dan gas bumi masih menjadi salah satu energi utama dalam kehidupan sehari-hari,
offshore oil rig

Laporaan Geologi Desa Kaligending dan Plumbon Kelompok 2


BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Daerah Karangsambung memiliki ciri khas geologi yang sangat menarik untuk dipelajari. Pada daerah ini terdapat batuan Pra-tersier dengan jenis batuan yang beragam serta tatanan dan struktur geologi yang sangat kompleks. Kondisi geologi yang kompleks ini terbentuk karena pada Daerah Karangsambung termasuk kedalamzona meratus, yaitu daerah pertemuan antara lempeng samudra dan lempeng benua yang mengalami penunjaman akibat adanya gaya konvergen. Lempeng yang saling bertabrakan tersebut membentuk  boudin-boudin lonjong yang membentuk formasi masing-masing dengan jenis batuan yang khas seperti scaly clay, serpentinit, rijang, basalt, diabas, gamping merah dan eklogit. Sebelum lempeng samudra mengalami subduksi lalu terangkat ketika gaya yang berkerja yang awalnya divergen menjadi konvergen membuatbatuan sedimenterendapkan. Pada daerah ini juga ditemukan batuan yang berada di laut dalam seperti rijang dan gamping merah, karena proses pengangkatan pada lempeng samudra yang mengalami subduksi. Geologi Karangsambung mempunyai formasi yang khas jika dibandingkan dengan daerah lain. Hal ini terlihat dari bentuk morfologi yang berbentuk lonjong-lonjong dan berbukit dengan terdiri dari tiga jenis batuan yaitu batuan beku, batua metamorf, dan batuan sedimen, dan stratigrafi daerah ini sangat khas dan membentuk formasi yang beragam seperti Formasi Komplek Melange Luk Ulo, Formasi Karangsambung, Formasi Totogan, Formasi Waturanda, Formasi Penosogan, struktur geologi yang berkembang pada daerah ini terdiri dari lipatan, sesar dan kekar.
            Pemetaan yang dilakukan merupakan salah satu kegiatan pengenalan geologi lapangan dengan tujuan agar dapat memahami prosedur pemetaan geologi, serta mengenali kondisi geologi daerah telitian. Pengenalan geologi lapangan meliputi pengunaan alat geologi, analisa geologi struktur, stratigrafi dan petrologi.

1.2 Ruang Lingkup Kegiatan
Ruang lingkung kegiatan pemetaan Daerah Karangsambung terdiri dari :
1.      Kegiatan difokuskan padastudi pengenalan Karangsambung dan pemetaan pada daerah telitian yang terletak di Desa Kaligending dan Plumbon dengan luas pemetaan sebesar 1.5 km x 1.5 km (gambar 1.1). Kegiatan ini tidak melakukan analisa lebih lanjut seperti analisis petrografi dan paleontologi.

2.      Pemetaan dilakukan selama 4 hari, kegiatan ini meliputi berbagai pengamatan seperti geomorfologi, struktur geologi dan petrologi, serta pengamatan lainnya.

 

3.      Berdasarkan peta geologi regional terdapat struktur sesar regional dan terdapat dua formasi yaitu Formasi Waturanda dan Formasi Penosogan, ciri dari Formasi Waturanda ini adalah terdiri atas perlapisan batupasir dan batuan breksi sedangkan Formasi Penosogan terdiri dari yaitu perselingan batulempung dan batuan karbonatan.

4.      Struktur Geologi yang berkembang pada daerah telitian ini ialah terdapat sesar-sesar yang berukuran makro dan juga kekar.

Gambar 1.1 Lokasi Pemetaan Geologi

1.3 Tujuan
Tujuan dari laporan ini, yaitu :
1.      Untuk mengetahui konsep-konsep geologi yang ada di Kompleks Melange Karangsambung-Jawa Tengah
2.      Untuk lebih memahami tentang ruang lingkup di Daerah Karangsambung
3.      Untuk mengetahui struktur dan batuan yang berkembang di Daerah Karangsambung
4.      Untuk memahami tentang metode measuring section pada Kolom Stratigrafi Karangsambung khususnya di Daerah Kali Jaya
5.      Untuk mengetahui menggunakan GPS (Geology Positioning System), orientasi medan, kompas dan scan line method.





BAB II
GEOLOGI REGIONAL


2.1 Tatanan Tektonik
Daerah Karangsambung berada di Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Daerah Karangsambung memiliki elevasi ± 11m dpl dengan morfologi yang disebut sebagai amphitheatre, merupakan suatu antiklin raksasa yang memiliki sumbu yang menunjam (inclined anticline) ke arah timur laut yang telah mengalami erosi. Karangsambung merupakan daerah yang memiliki keunikan kondisi geologi yang sangat menarik untuk dipelajari yang terususun oleh batuan Pra-tersier dengan jenis batuan dan struktur geologi yang sangat kompleks, kondisi ini dipengaruhi oleh adanya dua lempeng yaitu lempeng samudra dan lempeng benua yang bertubrukan akibat adanya gaya kompres terhadap pergerakan lempeng-lempeng tersebut.
Geologi Karangsambung mempunyai formasi yang khas jika dibandingkan dengan daerah lain dikarenakan pada Daerah Karangsambung ini merupakan Zona Akresi temapt percampuran beragam jenis batuan antara lain ialah Batuan Beku, Batuan Sedimen, Batuan Metamorf, Batuan Ofiolit dan Batuan Olisostrom. Stratigrafi daerah ini sangat khas dan membentuk formasi yang beragam seperti Formasi Komplek Melange Luk Ulo, Formasi Karangsambung, Formasi Totogan, Formasi Waturanda, Formasi Penosogan, struktur geologi yang berkembang pada daerah ini terdiri dari lipatan, sesar dan kekar.

2.2 Struktur Geologi Regional
Struktur geologi pada Daerah Karangsambung ini yang berupa perlipatan dan sesar yang berkembang di Daerah Karangsambung.Daerah Karangsambung dilewati oleh sungai besar yang disebut Sungai Luk Ulo dan sungai-sungai kecil yang bermuara di Luk Ulo. Sungai Luk Ulo mengalir dari utara hingga ke selatan daerah pemetaan (membelah Perbukitan Waturanda dan Gunung Brujul) dan merupakan sungai yang telah memasuki tahap sungai tua dicirikan oleh bentuk Luk Ulo yang meander. Sungai Luk Ulo dan sungai-sungai kecil yang mengalir di Daerah Karangsambung juga memiliki peran penting dalam pembentukan morfologi di daerah ini berkaitan dengan proses erosi dan sedimentasi
Morfologi yang khas ini memanjang ke arah barat mulai dari daerah Klepoh hingga Kali Larangan. Sayap-sayap dari antiklin raksasa tersebut membentuk morfologi berupa perbukitan di bagian utara (G. Paras) dan Selatan (G.Brujul dan Bukit Selaranda) dari daerah pemetaan. Perbukitan ini memiliki arah memanjang E - W. Sumbu antiklin tersebut mengalami proses erosi yang membentuk morfologi berupa lembah di Daerah Karangsambung dengan adanya perbukitan-perbukitan terisolasi yang berupa tubuh batuan beku (intrusi) dan batu gamping (Jatibungkus) serta konglomerat (Pesanggrahan). Pada daerah pemetaan, di sebelah Barat Laut dari lembah Karangsambung, terdapat perbukitan kompleks (Pagerbako dan Igir Kenong) yang tersusun atas lithologi berupa fragmen-fragmen raksasa batuan metamorf (filit) dan Batuan Sedimen laut dalam (perselingan rijang dan gamping merah) yang tertanam di dalam massa dasar lempung. Perbedaan morfologi di daerah ini disebabkan oleh perbedaan karakteristik geologi yang dicerminkan oleh lithologi yang menyusun daerah tersebut yang memiliki kekerasan dan resistensi yang berbeda-beda terhadap erosi yang akhirnya membentuk morfologi yang khas dari daerah ini, serta pengaruh dari struktur geologi yang berupa perlipatan dan sesar yang berkembang di daerah Karangsambung.Daerah Karangsambung dilewati oleh sungai besar yang disebut Sungai Luk Ulo dan sungai-sungai kecil yang bermuara di Luk Ulo. Sungai Luk Ulo mengalir dari Utara hingga ke Selatan daerah pemetaan (membelah perbukitan Waturanda dan Gunung Brujul) dan merupakan sungai yang telah memasuki tahap sungai tua dicirikan oleh bentuk Luk Ulo yang meander. Sungai Luk Ulo dan sungai-sungai kecil yang mengalir di daerah Karangsambung juga memiliki peran penting dalam pembentukan morfologi di daerah ini berkaitan dengan proses erosi dan sedimentasi.
Adapun sejarah singkat mengenai Geomorfologi Regional Karangsambung, merupakan perbukitan struktural, disebut sebagi kompleks melange. Tinggian yang berada didaerah ini antara lain adalah Gunung Waturanda, bukit Sipako, Gunung Paras, Gunung brujul, serta bukit Jatibungkus. Penyajian melange di lapangan Karangsambung merupakan dalam bentuk blok dengan skala ukuran dari puluhan hingga ratusan meter, selain itu juga terdapat melange yang membentukl sebuah rangkaian pegunungan. Karangsambung merupakan jejak-jejak tumbukan dua lempeng bumi yang terjadi 117 juta tahun sampai 60 juta tahun yang lalu. Ia juga merupakan pertemuan lempeng Asia dengan lempeng Hindia. Ia merupakan saksi dari peristiwa subduksi pada usia yang sangat tua yaitu pada zaman Pra-Tersier. Di daerah ini terjadi proses subduksi pada sekitar zaman Paleogene (Eosen, sekitar 57,8 juta sampai 36,6 juta tahun yang lalu). Oleh karena itu, pada tempat ini terekam jejak-jejak proses paleosubduksi yang ditunjukan oleh singkapan-singkapan batuan dengan usia tua dan merupakan karakteristik dari komponen lempeng samudera. Karangsambung merupakan tempat singkapan batuan terbesar batuan-batuan dari zaman Pre-Tersier yang terkenal dengan sebutan Luk Ulo Melange Complex , suatu melange yang berhubungan dengan subduksi pada zaman Crateceous (145.5 ± 4.0 hingga 65.5 ± 0.3 juta tahunyang lalu) yang diperkirakan berumur 117 juta tahun.Tersingkapnya batuan melange di daerah Karangsambung ini disebabkan oleh adanya tektonik kompresional yang menyebabkan daerah tersebut dipotong oleh sejumlah sesar-sesar naik disamping adanya pengangkatan dan proses erosi yang intensif. Apabila diperhatikan bahwa posisi batuan melange ini dijumpai di sekitar inti lipatan antiklin dan di sekitar zona sesar naik dan kenyataannya pada saat sekarang posisi inti lipatan ini berada di bagian lembah yang didalamnya mengalir aliran sungai Luk Ulo yang menunjukan bahwa di daerah tersebut proses erosi berlangsung lebih intensif.
Melange Luk Ulo didefinisikan oleh Asikin (1974) sebagai percampuran tektonik dari batuan yang mempunyai lingkungan berbeda, sebagai hasil dari proses subduksi antara Lempeng Indo-Australia yang menunjam di bawah Lempeng Benua Asia Tenggara, yang terjadi pada Kala Kapur Atas-Paleosen. Melange tektonik ini litologinya terdiri atas batuan metamorf, batuan basa dan ultra basa, batuan sedimen laut dalam (sedimen pelagic) yang seluruhnya mengambang di dalam masa dasar lempung hitam yang tergerus (Scally clay). Selanjutnya penulis ini membagi kompleks melange menjadi dua satuan berdasarkan sifat dominansi fragmenya, yaitu Satuan Seboro dan Satuan Jatisamit. Kedua satuan tersebut mempunyai karakteristik yang sama yaitu masa dasarnya merupakan lempung hitam yang tergerus (Scally clay). Bongkah yang berada di dalam masa dasar berupa boudin dan pada bidang permukaan tubuh bongkahnya juga tergerus. Beberapa macam dan sifat fisik komponen melange tektonik ini, antara lain batuan metamorf, batuan sedimen dan batuan beku.Morfologi perbukitan disusun oleh endapan melange, batuan beku, batuan sedimen dan endapan volkanik Kuarter, sedangkan morfologi pedataran disusun oleh batuan melange dan aluvium. Seluruh batuan penyusun yang berumur lebih tua dari Kuarter telah mengalami proses pensesaran yang cukup intensif terlebih lagi pada batuan yang berumur Kapur hingga Paleosen.Morfologi perbukitan dapat dibedakan menjadi dua bagian yang ditentukan berdasarkan bentuknya (kenampakannya), yaitu perbukitan memanjang dan perbukitan prismatik. Perbukitan memanjang umumnya disusun oleh batuan sedimen Tersier dan batuan volkanik Kuarter, sedangkan morfologi perbukitan prismatik umumnya disusun oleh batuan yang berasal dari melange tektonik dan batuan beku lainnya (Intrusi). Perbedaan kedua morfologi tersebut akan nampak jelas dilihat, apabila kita mengamatinya di puncak bukit Jatisamit.Bukit Jatisamit terletak di sebelah barat Karangsambung (Kampus LIPI). Tubuh bukit ini merupakan bongkah batuan sedimen terdiri atas batulempung merah, rijang, batugamping merah dan chert yang seluruhnya tertanam dalam masa dasar lempung bersisik. Pada bagian puncak bukit inilah kita dapat melihat panorama daerah Karangsambung secara leluasa sehingga ada istilah khusus yang sering digunakan oleh para ahli geologi terhadap pengamatan morfologi di daerah ini yaitu dengan sebutan “Amphitheatere”. Istilah ini mengacu kepada tempat pertunjukan dimana penonton berada di atas tribune pertunjukan. Istilah ini digunakan karena di tempat inilah kita dapat mengamati seluruh morfologi secara lebih jelas. Beberapa struktur geologi yang secara regional tampak pada morfologi lembahnya yang dapat dijelaskan di tempat ini, yaitu :
1.      Daerah bermorfologi pedataran
Terletak di sekitar wilayah aliran Sungai Luk Ulo. Sungai ini merupakansungai utama yang mengalir dari utara ke selatan mengerosi batuan melange tektonik, melange sedimenter, sedimen Tersier (F. Panosogan. F. Waturanda, F. Halang ). Di sekitar daerah Karangsambung, morfologi pedataran ini terletak pada inti antiklin sehingga tidak mengherankan apabila di daerah ini tersingkap batuan melange yang berumur tua, terdiri atas konglomerat, lava bantal, rijang, lempung merah, chert dan batugamping fusulina. Bongkah batuan tersebut tertanam dalam masa dasar lempung bersisik (Scally clay).
2.      Morfologi perbukitan
Disusun oleh batuan melange tektonik, batuan beku, batuan sedimen Tersier dan batuan volkanik Kuarter. Perbukitan yang disusun oleh melange tektonik dan intrusi batuan beku umumnya membentuk morfologi perbukitan dimana puncak perbukitannya terpotong-potong (tidak menerus/terpisah-pisah). Hal ini disebabkan karena masing-masing tubuh bukit tersebut (kecuali intrusi) merupakan suatu blok batuan yang satu sama lainnya saling terpisah yang tertanam dalam masa dasar lempung bersisik (Scally clay).
Morfologi perbukitan dimana batuan penyusunnya terdiri atas batuan sedimen Tersier dan batuan volkanik Kuarter nampak bahwa puncak perbukitannya menerus dan relatif teratur sesuai dengan sumbu lipatannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan bentuk perbukitan antara batuan melange dengan batuan sedimen Tersier/volkanik.Satuan morfologi ini dibagi menjadi beberapa bagian yaitu, Di bagian selatan menunjukkan struktur sinklin pada puncak Gunung Paras. Di bagian timur sebelah barat memperlihatkan kenampakan lembah yang memanjang dan melingkar menyerupai tapal kuda membentuk amphiteatre. Di bagian utara sampai selatan merupakan rangkaian pegunungan seperti Gunung Paras,  Dliwang, Perahu, dan Waturondo. Setelah dilakukan interpretasi proses pembalikan topografi, secara detail, bentuk bentang alam dari Gunung Paras ke selatan sampai Gunung Waturondo, direkonstruksi awalnya merupakan antikline pada lembahnya, dengan memposisikan kelurusan puncaknya, dan Bukit Bujil sebagai pilarnya. Namun saat ini telah mejadi puncak Gunung paras dengan struktur sinkilin dan antikilinnya,tersusun oleh batuan Sedimentasi Breksi Volkanik. Selain itu juga, terdapat bukit- bukit seperti Bukit Pesanggrahan, Bukit Bujil, dan Bukit Jati Bungkus.Satuan daerah perbukitan ini, tampak bergelombang lemah dan terisolir pada pandang luas cekungan morfologi amphiteatre. Batuan yang mengisi satuan ini, menunjukkan Breksi Volkanik yang tersebar dari Gunung Paras sampai Gunung Waturondo dan sinklinnya yang terlihat pada puncak Gunung Paras ke arah timur.
3.    Satuan Perbukitan-Pegunungan Kompleks Melange (Campur Aduk Batuan)
Satuan morfologi ini memperlihatkan bukit-bukit memanjang dengan DAS Sungai Gebong dan Sungi Cacaban yang membentuk rangkaian Gunung Wangirsambeng, Gunung Sigedag dan Bukit Sipako. Puncak Gunung wangirsambeng berupa bentukan panorama bukit memanjang dengan perbedaan ketinggian antara 100-300 M di atas permukaan laut. Di daerah ini juga, nampak bentang alam yang memperlihatkan bukit-bukit prismatic hasil proses tektonik
4.    Lajur Pegunungan Serayu Selatan
Bagian utara kawasan geologi Karangsambung merupakan bagian dari Lajur Pegunungan Serayu Selatan. Pada umumnya daerah ini terdiri atas dataran rendah hingga perbukitan menggelombang dan perbukitan tak teratur yang mencapai ketinggian hingga 520 m. Musim hujan di daerah ini berlangsung dari Oktober hingga Maret, dan musim kemarau dari April hingga September. Masa transisi diantara kedua musim itu adalah pada Maret-April dan September-Oktober.

2.3 Stratigrafi Regional
Secara garis besar, stratigrafi Daerah Karangsambung diurutkan berdasarkan umur dari tua ke muda, yaitu Komplek Melange Luk Ulo atau Formasi Melange berumuranPra-tersier, Formasi Karangsambung yang terdiri atas Batulempung Hitam, Formasi Totogan dengan batuan utamanya Batuan Lempung Bersisik atau Scaly Clay, Formasi Waturanda, terdiri atas perlapisan Batupasir dan Breksi, Formasi Penosongan, terdiri dari perselingan Batulempung dan Batupasir Karbonat.
Adapun penggambaran stratigrafi berdasarkan umur geologinya dapat dilihat pada gambar berikut ini :

Gambar 2.1 Stratigrafi Regional Daerah Karangsambung (Asikin, 1994)

Berdasarkan peta Geologi Lembar Kebumen, Jawa (S. Asikin, A. Handoyo, H. Busono, S. Gafoer (1992)), dapat diketahui bahwa batuan di daerah ini mulai dari yang tertua (Paleosen) hingga termuda (Pliosen) terdiri dari :
1.      Kompleks Melange Luk Ulo yang berupa bongkah-bongkah batuan Pra Tersier dengan massa dasar serpih hitam (berumur Kapur Atas).
2.      Formasi Karangsambung yang tersusun oleh batulempung bersisik dengan bongkah batugamping , konglomerat, batupasir, batugamping dan basal (berumur Eosen). Dalam formasi ini terdapat pula batugamping terumbu yang berupa olistolit.
3.      Formasi Totogan yang tersusun oleh breksi dengan komponen batulempung, batupasir, batugamping dan basal (berumur Oligo-Miosen).
4.      Formasi Waturanda yang tersusun oleh batupasir kasar, makin ke atas berubah menjadi breksi dengan komponen andesit, basal dan massa dasar batupasir tuf. Dalam Formasi ini terdapat anggota tuf yang tersusun oleh perselingan tuf kaca, tuf kristal, batupasir gampingan dan napal tufaan (berumur Miosen Awal).
5.      Formasi Penosogan yang teridiri dari perselingan batupasir gampingan, batulempung, tuf, napal dan kalkarenit (berumur Miosen Tengah).
6.      Diabas yang merupakan batuan beku intrusi hasil aktivitas volkanik (Miosen Tengah)
7.      Formasi Halang yang tersusun oleh perselingan batupasir, batugamping, napal dan tuf dengan sisipan breksi (berumur Pliosen)
8.      Formasi Peniron yang terdiri dari breksi dengan komponen andesit, batulempung, batugamping, serta massa dasar batupasir tufan bersisipan tuf.
9.      Endapan Pantai yang berupa pasir lepas
10.  Alluvium yang berupa endapan dengan ukuran butir lempung, lanau, pasir, kerikil dan kerakal




































BAB III
GEOLOGI KARANGSAMBUNG


3.1 Fieldtrip Geologi Kompleks Melange Luk Ulo
Fieldtrip geologi Kompleks Melange Luk Ulo yang dilakukan bersama tim lipi dengan empat lokasi penelitian (Gambar 3.1) dengan batuan yang tersingkap yaitu batuan beku diabbas dan batuan metamorf serpentinit, gamping merah, rijang dan metamorfik eklogit.
Gambar 3. Lintasan lokasi pengamatan

3.1.1 Lokasi Penelitian 1
Lokasi penelitian 1 terletak di Gunung Parang dimana terdapat singkapan batu diabas dengan kedudukan N 90o E adanya microcontinental yang menganjal menyebabkan vulkanik menjadi aktif kembali, terdapat lapisan diterobos Formasi Totogan berupa columnar joint menerobos lapisan dengan intrusi berupa sill pada perlapisan batu lempung. Intrusi terjadi setelah batuan Formasi Karansambung terbentuk dimana intrusi memiliki umur lebih muda dari batuan Formasi Karangsambung. Pada batuan tersebut terdapat kekar kolom, dimana kekar ini terbentuk karena gaya pengerutan akibat pendinginan magma dan terjadi intrusi dangkal pada batuan beku, selain itu terdapat rekahan yang terisi oleh mineral kalsit dan zeolit, (Gambar 3.2)
Gambar 3.2 Singkapan batu diabbas
Batuan diabas memiliki karakteristik berupa warna hitam, holokristalin, porphilitik, equigranular, memiliki tekstur khusus diabbasik dimana mineral plagioklas menginklusi mineral lain menyerupai parutan kelapa, batuan beku intrusif terdapat mineral yang didominasi oleh plagioklas, biotite dan zeolit, lokasi ini mengindikasikan proses magmatisme yang dicirikan adanya batuan diabbas.

3.1.2 Lokasi Penelitian 2
Lokasi pengamatan 2 merupakan pengamatan morfologi dengan kedudukan singkapan N 062 E dimana pada bagian utara merupakan Formasi Pra Tersier dan dibagian selatan Formasi Tersier (Gambar 3.3). Pada pengamatan ini Formasi Totogan menjari dengan Formasi Karangsambung dan terdapat batuan sedimen disostrom dimana akibat longsoran lempeng benua.
Gambar 3.3 Morfologi daerah Karangsambung
Formasi Waturanda terdapat batuan breksi vulkanik dan batupasir greywacke. Diendapkan secara “gravity mass flow” atau dengan arus turbidit terdapat litologi batuan yang lebih didominasi sedimen proses olisostrom atau gaya yang diberikan dengan fragmen vulkanik. Di atas Formasi ini diendapkan Formasi Panosogan secara selaras. Kenampakan fisik perbukitan melange dengan perbukitan yang begerigi dan memiliki puncak tersendiri dengan litologi batuan berbeda dan tingkat resistensi batuan tidak sama. Adanya scaly clay terbentuk pada bagian zona subduksi cenderung lebih kompak kemudian terangkat terendapkan diantara Horst dan Graben secara normal mengikiuti morfologi.

3.1.3 Lokasi Penelitian 3
Lokasi pengamatan 3 terletak Desa Puncangan dengan kedudukan singkapan N354 E dengan elevasi 102 mdpl tersingkap batuan serpentinit yang karakateristik hitam, nematoblastik, no-foliasi, metamorfisme regional, ubahan dari mineral olivine - klorit, sebagai pembentuk mineral talk dengan fasies green skis, Serpentinit, Regiolit, dan Peridotit. Pembentukan batuan ini dikenal dengan serpentinisation. Sebagai bukti komplek melange karangsambung terbagi atas 2 kelas yaitu Komplek Melange akibat tektonik terdiri atas Ofiolit dan Boudine dan Komplek Melange pengaruh adanya sedimen berupa olisostrom dan olistolite. Peridotit terubahkan menjadi serpentinit dan terjadi uplift, lalu terbentuk patahan saat proses pengangkatan, dan kemudian bongkahan batuan tercampur kembali dan membentuk singkapan seperti saat ini.

3.1.4 Lokasi Penelitian 4
Lokasi penelitian 4 berada pada Kalimuncar dengan kedudukan singkapan N110E , terdapat singkapan batugamping merah, batu rijang, metamorfik eklogit dan lava bantal (Gambar 3.4). Karakteristik batuan rijang dengan warna merah mudah, kalkarenit, subrounded, poorly sorted, baik, kompak, berangsur, silikaan. Terdapat pecahan choncoidal dengan sedimen pelagik laut dalam sejarah tegak, Red bed, dari kandungan Fe diperkirakan terdapat fosil radiolaria. Lalu karakteristik batugamping dengan warnah merah, jenis batu sedimen klastik, ukuran butir silt- clay (kalsilutit), kemas tertutup, sortasi baik, kompak dengan komposisi CaCO3. Sedangkan singkapan batuan sedimen pada dinding tebing bagian atas lava bantal, dengan bagian bawah tebing rijang dan adanya lapisan tipis gamping merah dengan karakter batuan merah muda, silt-clay, subronded, well sorted,kompak, tajam, karbonatan. Metamorfik eklogit memiliki karakteristik tekstur granoblastik, non foliasi, komposisi mineral, garnet, mika, dan amphibole.
Gambar 3.4 Singkapan batuan gamping dan rijang

3.2  Struktur Geologi Kalimandala
Daerah Kalimandala merupakan perbatasan Formasi Pratersier dan Tersier. Formasi Pratersier merupakan termasuk dalam Formasi Kompleks Melange Luk Ulo dan Formasi Tersier termasuk dalam Formasi Karangsambung, Totogan, Waturanda, dan Penosogan. Dimana pada lokasi banyak terdapat struktur-struktur yang bekerja akibat pertemuan dari formasi tersebut. Lokasi penelitian dibagi menjadi dua yaitu bagian hiir dan hulu.

3.2.1 Lokasi Penelitian Hilir
Pada bagian hilir disungai Kalimandala terdapat banyak struktur-struktur baik struktur mikro maupun makro. Keterdapatan struktur mikrofault berupa cermin sesar dengan gaya tegasan utama berada di baratdaya timurlaut (Gambar 3.5), dengan hasil pengukuran strike/dip N 065 E/54 E, trend N 104 E, plunge N 045 E, rake 53, penamaan sesar Lag left slip fault (Rickard, 1972).
Gambar 3.5 Struktur Geologi Kalimandala

3.2.2 Lokasi Penelitian Hilir
Pada bagian hulu sungai Kalimandala memiliki banyak struktur dengan lebih kompleks. Dan juga didapat sesar makro didapat  berupa data shear fracture, gash fracture dan breksiasi . Semakin ke atas juga banyak terdapat struktur makro menandakan semakin kuat struktur yang bekerja daripada yang dihilir Gambar 3.6. Pada daerah ini terdapat kekar dan cermin sesar dengan litologi breksi lava dengan massa dasar lava basalt berfragmen gamping, rijang. Pada lokasi pengamatan didapat strukrur makro dan mikro, dimana pada struktur mikrofault dengan gaya utama berarah baratdaya timutlaut dengan hasil pengukuran strike/dip N 015 E/66 E, trend N 141 E, plunge N 009 E, rake 10, penamaan left slip fault (Rickard, 1972).  Lalu pengukuran selanjutnya didapat strike/dip : N 070 E/72 E, trend  N141E, plunge N 072 E, rake 40 dengan penamaan left normal slip fault (Rickard, 1972).
Gambar 3.6 Strukutur geologi Kalimandala
             
3.3  Stratigrafi Kali Jaya
Kalijaya merupakan  merupakan termasuk dalam Formasi Penosogan dimana terletak selaras dengan Formasi Waturanda Formasi ini ditandai dengan adanya batupasir, batulempung yang mengandung karbonatan, napal, kalkarenit. Lokasi penelitian Kalijaya dengan cuaca cerah didapat lapisan dari hulu ke hilir didapat berupa batupasir, batulempung yang mendominasi pada lokasi ini adalah sisipan batupasir. Dimana pengendapan dimulai dari batulempung lalu diendapkan sisipan batupasir dengan lapisan top sisipan batupasir dan bottom batulempung (Gambar 3.7). Pada batuan tersebut banyak didapat struktur-struktur yang menunjukkan bahwa lokasi ini merupakan terjadi trangresi dan agresi turun naiknya muka air laut, regresi ditandai adanya batuan pasir dan batulempung karbonatan yang menandakan terjadi kenaikan muka air laut (transgresi) . Pada batupasir finesand dan mediumsand terdapat struktur berupa laminasi dan planar crossbedding. Dimana laminasi menandakan arus yang tenang yang bisa mengendapkan batupasir, dan planar cross bedding berada diatas laminasi yang menandakan gelombang berada diarus tenang. Pada lokasi ini memiliki stratigrafi yang menunjukkan lebih jelas dan secara kompleks tentang yang sikuen bouma yang menjelaskan arus dan pengendapannya secara detail dalam meansuring section (Lampiran 1).
Gambar 3.7 Stratigrafi Kalijaya

3.4  Orientasi Medan dan Pengamatan Singkapan
Orientasi medan adalah kemampuan dalam mengenali tanda-tanda alam yang ada di lapangan dan mencocokannya dengan peta. Orientasi ini dilakukan dengan cara mengenali tempat tinggian atau lebih mencolok, seperti gunung, bukit, tower dll. Sedangkan Observasi singkapan adalah pengamatan dilakukan dilakukan untuk memperoleh data-data dilapangan. Singkapan yang dijumpai dapat dilihat dari jauh dan diamati secara dekat, untuk memperjelas dan memastikan kondisi dipeta dan kondisi lapangan yang sesungguhnya. Orientasi medan ini sangat berguna untuk mengetahui lokasi keberadaan.
Kegiatan orientasi medan dilakukan dengan beberapa tahap yakni :
·         Diawali dengan membuka kompas dan melihat arah utara kompas, Selanjutnya membentangkan peta dan menyamakan arah utara peta dengan arah utara kopas
·         Lalu tembak menggunakan kompas bagian yang dapat dilihat dengan jelas di peta dan juga di kenampakan sebenarnya misalkan gunung, bukit,dan juga yang lainnya.
·         Kemudian plot derajat yang telah ditembak tadi, maka akan di dapat perpotongan
antara garis dan disitulah lokasi kita berada.

3.4.1 Lokasi Penelitian 1
Lokasi penelitian 1 dengan orientasi medan pada Gunung Paras N 034 E dan Gunung Brujul N 216 E. Titik lokasi ini berada pada sumbu lipatan, lipatan menunjam ke arah BaratTimur, yang bernama perbukitan amphiteater, dimana terjadi pembalikan morfologi akibat adanya tekanan. Bagian tengah dari perbukitan amphiteater adalah lembah. Bagian sumbu lipatan atau puncak lipatan telah tererosi karena resistensi batuan yang rendah serta adanya struktur batuan yang mempermudah proses erosi dan membentuk bentuk lahan denudasional. Lipatan yang bekerja berupa lipatan plungin atau menunjam, pada bagian lipatan terdapat sesar turun. Lipatan amphiteater dahulunya membentuk seperti lipatan antiklin, lalu karena adanya pengaruh erosi sehingga menjadi terlihat seperti lipatan sinklin. Bentukan morfologi yang nampak pada lokasi ini bisa terlihat seperti pada Gambar 3.8

          N 216 E

          N 034 E
Gambar 3.8 Gunung paras dan Gunung Brujul
3.4.2 Lokasi Penelitian 2
Lokasi penelitian 2 dengan orientasi medan pada Gunung Paras N 005 E dan Gunung Brujul N 255 E. Pada LP. 2 ini juga masih menjadikan morfologi pegunungan yang dijadikan acuan , lokasi pengamatan ini merupakan kemenerusan dari titik penelitian pertama, lokasi ini semakin mendekati sumbu lipatan atau perbukitan amphiteater Gambar 3.9
 




N 255 E

          N 005 E
Gambar 3.9 Gunung Paras dan Gunung Brujul
3.4.3 Lokasi Penelitian 3
Lokasi penelitian 3 tidak jauh dari lokasi orientasi medan sekitar 10 meteran berada pada kali susu  tetapi berada diatas dimana terdapat singkapan banyak seperti gamping kristalin, dan gamping terumbu. Singkapan batuan tersebut banyak ditutupi oleh vegetasi. Dari singkapan yang dijumpai dapat dilihat dan diamati bentukan dan struktur serta tekstur dari batuan tersebut. Pada Lokasi penelitian ini terdapat singkapan dengan litologi batugamping dimana terdapat olistolit berupa fragmen-fragmen batuannya adalah fosil – fosil bentos, maka dapat di interpretasikan bahwa lingkungan pengendapan pada lokasi ni adalah lingungan laut dangkal dengan kedalaman 0 – 200 meter dibawah permukaan air laut (Gambar 3.10).
Gambar 3.10 Singkapan batugamping
3.4.4 Lokasi Penelitian 4
Pada lokasi penelitian 4 berada pada Formasi Waturanda, Gundukan Breksi dan batupasir. Lokasi penelitian ini terletak di Formasi Waturanda dengan perselingan batupasir, batubreksi serta terdapat beda fasies membaji, erosional, dan perlapisan (Gambar 3.11). Pada lokasi Penelitian ini terdapat singkapan batuan yang berada dipinggir jalan berhadapan dengan sungai Luk Ulo, dimana morfologi singapannya berupa tebing yang membentuk gundukan yang curam dan telah ditutupi oleh vegetasi. Pada singkapan ini terdapat kontak batubreksi dan batupasir coarse, pada batannya cenderung resisten dengan kedudukan N124E/ 44 E, kontak yang pertama batupasir dengan warna abu-abu, rounded dan kompak dengan grain size pasir medium, kemudian terdapat kontak batupasir dengan breksi (N 135 E/45) lalu batu breksi memiliki fragmen pecahan basalt, kompak, angular, abu-abu, selanjutnya terdapat kontak breksi dan batupasir kasar (N 124 E/63). Litologinya memiliki kesamaan dengan batuan sebelumnya, lalu terdapat kontak batuan breksi dengan batupasir kasar (N 165 E/32 E) dan membentuk beda fasies membaji, kemudian juga terdapat struktur eksfoliasi.
                  Gambar 3.11 singkapan batuan kontak batubreksi dan batupasir
3.5  Geologi Daerah Kaligending – Plumbon dan Sekitarnya
Analisa pemetaan lapangan pada daerah telitian dimulai dengan pembuatan peta lintasan yang dibuat menggunakan peta topografi daerah penelitian sebagai acuan. Hal tersebut berguna untuk  memaksimalkan pemahaman penulis serta pembaca dalam memahami aspek-aspek geologi yang ada pada daerah telitian. Perhatikan (Lampiran Peta lintasan).

3.5.1        Geomorfologi
Lokasi pengamatan daerah telitian, yaitu Kaligending – Plumbon merupakan kawasan hutan, perkebunan, persawahan, serta perumahan warga yang termasuk dalam bentuk lahan asal denudasional. Pengklasifikasian bentuk lahan ini ditentukan berdasarkan ciri kontur yang beragam (Lampiran Peta Topografi), kemiringan lereng dari setiap tempat yang berbeda-beda (Lampiran Peta Kemiringan Lereng), serta juga melihat pola aliran sungai dari daerah telitian yang berpola dendritik (Lampiran Peta Pola Aliran Sungai). Klasifikasi bentuk lahan denudasional dari daerah telitian ini, yaitu D1 (Perbukitan Denudasional Landai), D2 (Perbukitan Denudasional Sedang), D6 (Dataran yang Terangkat/Plateaus), dan D7 (Kaki Lereng) yang mana termasuk dalam klasifikasi Van Zuidam, 1985 (Lampiran Peta Geomorfologi).

3.5.1.1 Pola Aliran
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, daerah telitian ini, yaitu Kaligending-Plumbon dan sekitarnya memiliki sungai dengan pola aliran dendritik (Lampiran Peta Pola Aliran Sungai). Penentuan pola aliran ini berdasarkan pada bentuk keseluruhan dari sungai yang penulis lihat pada daerah telitian. Pada daerah ini, dominasi sungainya memperlihatkan pola percabangan sungai yang berbentuk seperti pohon. Pola ini lebih kita kenal dengan pola aliran dendritik.
Pola aliran dendritik ini mencirikan lapisan batuan yang seragam. Hal tersebut dikarenakan pola ini membentuk percabangan sungai yang banyak, dimana hal tersebut dapat terjadi apabila lithologi batuan yang terdapat pada daerah tersebut adalah seragam. Penjelasan ini tentu saja sesuai dengan fakta yang penulis dapatkan dilapangan, dimana lithologi batuan yang mengontrol daerah tersebut adalah seragam.

3.5.1.2 Kemiringan Lereng
Kemiringan lereng yang ada pada daerah telitian ini tentu akan lebih mudah dimengerti apabila pembaca melihat gradasi rona warna yang telah penulis tampilkan pada peta kemiringan lereng daerah telitian (Lampiran Peta Kemiringan Lereng). Melalui peta tersebut akan sangat jelas bahwa daerah ini memiliki kemiringan lereng yang beragam. Terdapat beberapa tempat dengan klasifikasi kemiringan lereng yang datar, namun ada juga beberapa tempat yang memiliki klasifikasi kemiringan lereng curam ekstrem. Perbedaan dari setiap klasifikasi kemiringan lereng yang terjadi di daerah tersebut disebabkan oleh proses denudasional yang berbeda-beda pula.
Pada daerah telitian penulis ini sendiri didominasi oleh kemiringan lereng dengan klasifikasi agak curam hingga curam. Hal ini dapat dilihat dari kontur yang cukup rapat, dimana banyak ditemukan pada daerah telitian penulis. Berdasarkan klasifikasi tersebut juga, dapat diketahui bahwa proses denudasional yang bekerja pada daerah ini mulai terjadi secara intensif. Selanjutnya proses itulah yang kemudian membuat persentase kemiringan lereng pada daerah telitian semakin besar.

3.5.1.3 Satuan Lahan
Seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya, daerah telitian ini memiliki bentuk lahan asal denudasional. Hal ini ditentukan berdasarkan hal-hal yang telah penulis observasi di lapangan. Untuk pengklasifikasiannya sendiri akan lebih jelas jika pembaca melihat langsung delinasi peta geomorfologi yang telah penulis buat sebelumnya (Lampiran Peta Geomorfologi). Daerah telitian ini terdiri dari D1 (Perbukitan Denudasional Landai), D2 (Perbukitan Denudasional Sedang), D6 (Dataran yang Terangkat/Plateaus), dan D7 (Kaki Lereng) yang mana termasuk dalam klasifikasi Van Zuidam, 1985.
3.5.1.3.1 Perbukitan Denudasional Landai (D1)
Untuk klasifikasi pertama adalah Perbukitan Denudasional Landai (D1), yaitu mengenai perbukitan denudasional yang memiliki karakteristik topografi yang berbukit-bukit dan bergelombang, dengan kemiringan lereng berkisar antara 15 – 55%. (Gambar 3.12)


N 334o E

Gambar 3.12 Bentukan Klasifikasi Perbukitan Denudasional Landai (D1)

Seperti yang telah dituliskan sebelumnya, daerah ini memiliki pola aliran sungai dendritik (Lampiran Peta Pola Pengaliran Sungai), serta kemiringan lereng yang beragam, yaitu mulai dari curam (30-70%) hingga agak miring (2-7%), (Lampiran Peta Kemiringan Lereng). Bukan hanya itu, namun juga perbedaan ketinggian relief (relief local) yang berkisar antara 50 - <500m.
3.5.1.3.2 Perbukitan Denudasional Sedang (D2)
Klasifikasi kedua yaitu Perbukitan Denudasional Sedang (D2) yang menunjukkan suatu bentukan perbukitan dan lereng denudasional yang memiliki tingkat erosi dari sedang hingga parah. (Gambar 3.13)

N 346o E
Gambar 3.13 Bentukan Klasifikasi Perbukitan Denudasional Sedang (D2)
Bentukan lereng yang ada pada klasifikasi ini mulai dari lereng yang sangat curam (70-140%) hingga agak curam (15-30%), (Lampiran Peta Kemiringan Lereng). Kemudian seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa topografi pada daerah ini bergelombang kuat sampai dengan berbukit.
Pengklasifikasian bentuk lahan denudasional pada daerah penelitian ini diperkuat oleh keterdapatan bidang-bidang longsoran yang banyak dijumpai pada daerah telitian. (Gambar 3.14).

N 198o E
Gambar 3.14 Longsoran pada daerah telitian

Longsoran merupakan salah satu ciri bahwa suatu daerah mengalami proses denudasi, dimana proses ini didukung dengan adanya tebing yang tinggi atau lereng yang terjal yang menyebabkan wilayah tersebut mudah mengalami longsor, serta terdapatnya lembah-lembah yang dicirikan dengan sungai-sungai kecil yang memotong kontur.

3.5.1.3.3 Dataran yang Terangkat/Plateus (D6)
Klasifikasi selanjutnya adalah Dataran yang Terangkat/Plateus (D6), dimana klasifikasi ini menunjukkan bentukan lahan yang hampir datar pada suatu daerah. Meskipun demikian, topografi dari daerah ini adalah landai hingga bergelombang, dengan elevasi yang tinggi. Hal tersebut juga ditunjang oleh data kemiringan lereng dari daerah ini, yaitu miring (7-15%) hingga landai (0-2%), (Lampiran Peta Kemiringan Lereng). Penjelasan ini sangat cocok jika kita memperhatikan bentuk dan kondisi sekitar pada lokasi penelitian. (Gambar 3.15)
Gambar 3.15 Dataran yang Terangkat/Plateus

3.5.1.3.4 Lereng Kaki (D7)
Kemudian klasifikasi terakhir adalah Lereng Kaki (D7) yang akan membentuk area memanjang dan relative sempit yang terletak di kaki pegunungan/perbukitan dengan topografi landai hingga berombak. Selain itu jika dilihat berdasarkan kemiringan lerengnya, daerah ini memiliki kemiringan lereng dari miring (7-15%) hingga agak miring (2-7%), (Lampiran Peta Kemiringan Lereng). Klasifikasi ini terbentuk pada daerah kaki gunung serta lembah ataupun dasar cekungan (basin). (Gambar 3.16)

N 187o E
Gambar 3.16 Sungai yang Menunjukkan Kenampakan Lereng Kaki

Selain itu, daerah ini umumnya memang sering dilewati oleh fragmen-fragmen batuan hasil pelapukan daerah yang berada di atasnya, yang kemudian diangkut oleh tenaga pengangkut yang bekerja pada daerah tersebut (aliran sungai).

3.5.1.4 Sayatan
Penjelasan mengenai sayatan ini akan lebih mudah dipahami apabila pembaca juga melihat tampilsan penampang geomorfologi yang telah penulis rekonstruksikan sebelumnya (Lampiran Peta Geomorfologi). Pada peta tersebut, penulis telah membuat dua sayatan, yaitu sayatan A-A’ dan juga B-B’. Kedua sayatan tersebut diambil dengan memperhatikan klasifikasi bentuk lahan yang ada.
Sayatan A-A’ ditarik dari sisi NW menuju ke arah SE. Ketika dilakukan rekonstruksi penampangnya, kemudian didapatkan morfologi dari klasifikasi bentuk lahan yang dipotong oleh sayatan ini adalah D2, D7, D6, D1, lalu kemudian kembali lagi D6 dan D7. Untuk penjelasan dari klasifikasi tersebut dapat langsung dilihat dari pemerian yang terdapat di peta (Lampiran Peta Geomorfologi). (Gambar 3.17)




Gambar 3.17 Penampang A-A’ Peta Geomorfologi

Sayatan B-B’ ini ditarik dari sisi NE menuju ke arah SW. Kemudian ketika penulis melakukan rekonstruksi pada penampangnya, didapatkan morfologi dari klasifikasi bentuk lahan yanng dipotong oleh sayatan ini, yaitu D7, D6, lalu D7, D6, D1 dan juga D2 dengan penjelasan yang dapat langsung dilihat dari pemerian yang terdapat pada peta (Lampiran Peta Geomorfologi). (Gambar 3.18)
Gambar 3.18 Penampang B-B’ Peta Geomorfologi

3.5.2        Stratigrafi
Stratigrafi daerah telitian, yaitu daerah Kaligending-Plumbon dan sekitarnya yang termasuk ke dalam daerah pemetaan penulis terdiri dari dua formasi batuan, yaitu Formasi Waturanda kemudian selaras diatasnya terdapat Formasi Penosogan. Kemudian berdasarkan perbedaan kedua formasi tersebut yang telah didapatkan di lapangan, penulis membagi daerah penelitian menjadi sua satuan batuan, yaitu Satuan Batubreksi Formasi Waturanda dan Satuan Batulempung Formasi Penosogan.

3.5.2.1 Satuan Breksi Formasi Waturanda
Penamaan satuan ini berdasarkan dari kesamaan ciri lithologi serta struktur sedimen yang berkembang pada batuan, karakteristik breksi vulkanik dapat diindentifikasi dari fragmen yang menyusunnya . (Gambar 3.19)
Gambar 3.19 Satuan Batubreksi Formasi Waturanda

3.5.2.1.1 Ciri Lithologi
Berdasarkan gambar 3.19, diketahui bahwa ciri lithologi yang terdapat pada satuan batubreksi ini, antara lain:
a.          Breksi dengan warna lapuk coklat kehitaman dan warna fresh abu-abu kehitaman. Breksi dengan fragmen batuan beku seperti andesit dan basalt dengan ukuran butir cobble hingga pebble berdasarkan skala Wentworth (1992), kemudian dengan massa dasar coarse-medium sand.
b.         Batupasir dengan warna lapuk abu-abu kehitaman dan warna fresh abu-abu, dengan ukuran butir coarse sand hingga medium sand serta semen silika. Karakteristik dari batupasir waturanda ini adalah teksturnya yang kasar serta hasil robakan vulkanik, berbeda dari formasi lain yang ada pada daerah tersebut.

3.5.2.1.2 Sebaran dan Ketebalan
Sebaran dari Satuan Batubreksi Formasi Waturanda ini menempati sekitar 50% dari luasan keseluruhan daerah penelitian penulis. Singkapan breksi tersebar dibagian utara Desa Kaligending dan juga Plumbon.  Berdasarkan Peta Geologi (Lampiran Peta Geologi), Satuan ini terdapat pada bagian utara dari daerah telitian. Satuan batuan ini memiliki kedudukan dominan pada kuadran 1 dan kuadran 2, yaitu sekitar N086oE/56oSW. Ketebalan dari Satuan Batubreksi Formasi Waturanda ini jika dilihat berdasarkan lebar permukaan, mencapai sekitar 750 m.
3.5.2.1.3 Umur
Penulis tidak melakukan analisa fosil untuk menentukan umur dari batuan yang terdapat pada lokasi penelitian. Hal ini didukung oleh ciri lithologi, kandungan karbonatan, serta struktur sedimen yang berkembang pada batuan, sehingga penentuan umur satuan batuannya didasarkan pada data regional Peta Geologi Regional Lembar Kebumen (S.Asikin, A.Handoyo, H.Busono dan S.Gafoer 1992 ). Berdasarkan data tersebut, kemudian diketahui bahwa satuan batuan ini terbentuk pada Miosen Awal – Miosen Tengah.

3.5.2.1.4 Lingkungan Pengendapan
Berdasarkan pengamatan lapangan yang kemudian didukung oleh ciri lithologi dan ukuran butir yang ada pada Satuan Batubreksi Formasi Waturanda, diketahui bahwa lingkungan pengendapannya adalah pada bagian depan busur muka cekungan, dari shoreline menuju ke arah darat  (Gambar 3.20). Hal ini didukung oleh fragmen vulkanik yang berukuran besar (dekat dengan sumber) pada daerah telitian.
Gambar 3.20 Pemodelan Lingkungan Pengendapan Satuan Batubreksi Formasi Waturanda (Asikin, 1994)

Seperti yang ada pada gambar 3.20, daerah karangsambung mulanya merupakan zona prisma akresi yang masih terendapkan di bawah muka air laut, kemudian daerah tersebut terus mengalami penumpukan sehingga pada Miosen Awal – Miosen Tengah  sedimentasi di daerah tersebut mulai menunjukkan pengendapan pada daerah darat (non-karbonatan). Pada saat itulah Formasi Waturanda mulai terbentuk. Dimana breksi vulkanik serta batupasir yang tidak mengandung karbonatan mulai hadir. Jika kita hubungkan hal dengan data measuring section yang telah dibuat oleh penulis, maka didapatkan gradasi ukuran butir yang kasar dengan fragmen batuan vulkanik, seperti andesit dan basalt tanpa kandugan karbonatan di bagian bawah yang menandakan lingkungan pengendapan ke arah darat (Lampiran MS 1 dan 2).


3.5.2.2Satuan Batulempung Formasi Penosogan
Penamaan satuan batuan ini berdasarkan dari kesamaan ciri lithologi, komposisi kimia, serta struktur sedimen yang berkembang pada batuan tersebut. (Gambar 3.21)

Gambar 3.21 a. Satuan Batulempung pada Formasi Penosogan; b. Struktur Sedimen Berupa Slump pada Batupasir di Formasi Penosogan; c. Salah satu Singkapan Batuan pada Formasi Penosogan; d. Gradasi Ukuran Butir pada Formasi Penosogan; e. Struktur Sedimen Berupa Laminasi; f. Struktur Sedimen Berupa Planar Cross Bedding

3.5.2.2.1 Ciri Lithologi
Berdasarkan gambar 3.21, diketahui bahwa ciri lithologi yang terdapat pada satuan batulempung ini, antara lain:
a.                Batulempung dengan warna lapuk abu-abu kecoklatan dan warna freshkrem. Batulempung ini mengandung karbonatan serta memperlihatkan keterdapatan bioturbasi yang berjalan secara horizontal., kemudian dengan massa dasar coarse-medium sand.
b.               Batupasir dengan warna lapuk abu-abu kecoklatan dan warna fresh abu-abu muda, dengan ukuran butir medium sand hingga very fine sand jika dilihat berdasarkan skala Wentworth (1992). Karakteristik dari batupasir waturanda ini adalah kandungan karbonatannya, selain itu juga struktur-struktur sedimen yang berkembang, seperti laminasi, planar cross bedding, slump, serta struktur sedimen lain.

3.5.2.1.2 Sebaran dan Ketebalan
Sebaran dari Satuan Batulempung Formasi Penosogan ini menempati sekitar 50% dari luasan keseluruhan daerah penelitian penulis. Singkapan batulempung tersebar dibagian selatan Desa Kaligending dan juga Plumbon.  Berdasarkan Peta Geologi (Lampiran Peta Geologi), Satuan ini terdapat pada bagian selatan dari daerah telitian. Satuan batuan ini memiliki kedudukan dominan pada kuadran 1 dan kuadran 2, yaitu sekitar N086oE/56oSW. Ketebalan dari Satuan Batulempung Formasi Penosogan ini jika dilihat berdasarkan lebar permukaan, mencapai sekitar 750 m.

3.5.2.1.3 Umur
Penulis tidak melakukan analisa fosil untuk menentukan umur dari batuan yang terdapat pada lokasi penelitian. Hal ini didukung oleh ciri lithologi, kandungan karbonatan, serta struktur sedimen yang berkembang pada batuan, sehingga penentuan umur satuan batuannya didasarkan pada data regional Peta Geologi Regional Lembar Kebumen (S.Asikin, A.Handoyo, H.Busono dan S.Gafoer1992). Berdasarkan data tersebut, kemudian diketahui bahwa satuan batuan ini terbentuk pada Miosen Tengah.

3.5.2.1.4 Lingkungan Pengendapan
Berdasarkan pengamatan lapangan yang kemudian didukung oleh ciri lithologi dan komposisi kimia, serta struktur sedimen yang berkembang pada Satuan Batulempung Formasi Penosogan, diketahui bahwa lingkungan pengendapannya adalah pada bagian Sub-marine fan(Gambar 3.22). Hal ini didukung oleh kandungan karbonatan yang ada pada satuan batuan tersebut. Selain itu, struktur sedimen seperti laminasi, planar-cross bedding, serta bioturbasi yang berjalan secara horizontal juga menguatkan analisa penulis mengenai lingkungan pengendapan dari formasi ini.
Gambar 3.22 Pemodelan Lingkungan Pengendapan Satuan Batulempung Formasi Penosogan (Asikin, 1994)

Seperti yang ada pada gambar 3.22, daerah yang telah mengalami penumpukan sehingga berubah menjadi lingkungan pengendapan darat tersebut, kemudian kembali tergenangi oleh air laut. Pada saat ini (Miosen Tengah) mulailah terendapkan Satuan Batulempung Formasi Penosogan dengan kandungan karbonatan yang melimpah serta struktur-struktur sedimen yang terbentuk bersamaan dengan fase pengendapannya. Berbeda dari Formasi Waturanda, pada Formasi Penosogan ini, ukuran butir batuannya lebih halus. Jika kita hubungkan dengan data measuring section yang telah dibuat oleh penulis bahkan ditemukannya batulempung dengan kandungan karbonatan di beberapa tempat yang menandakan bahwa itu adalah material yang berasal dari daerah laut (Lampiran MS 1 dan 2). Hal tersebut menguatkan analisa penulis mengenai tempat pengendapan dari formasi ini seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

3.5.3  Struktur Geologi
              Struktur geologi yang terdapat pada Daerah Kaligeding dan Plumbon di pengaruhi oleh aktivitas tektonik dengan arah utama utara-selatan dari kenampakan data DEM (lampiran peta kelurusan), dan hasil observasi stuktur geologi terdapat beberapa struktur sesar, yaitu sesar turun menganan dan sesar turun mengiri.

3.5.3.1  Sesar Turun Menganan Kaligending
Lokasi pertama keterdapatan sesar berada pada koordinat 07o34’57.6’’, 109o41’26,7’’. Terdapat bidang sesar dengan kedudukan N340oE/87oNE, kemudian didapatkan throw sebesar 65 cm dan heave sebesar 0,6 cm dengan hangingwall relatif turun terhadap footwall. Perhatikan gambar 3.23 yang ada dibawah ini.
Gambar 3.23 Offset Bidang Sesar Pertama
Karena tidak ditemukan slicken slides pada sesar tersebut, maka penentuan nama sesar dilakukan dengan menggunakan konsep harding. Kelurusan lapisan disekitar daerah keterdapatan sesar tersebut memiliki kedudukan N102oE/52oSW, sehingga diketahui bahwa sesar terebut adalah sesar turun menganan.

3.22 Sesar Mendatar Kiri Plumbon
Lokasi kedua berada pada koordinat S07.58610, E109.69561 atau pada Desa Plumbon. Memiliki kedudukan N210oE/20oNW, throw sebesar 0,8 cm, dan heave 9,8 cm. Kelurusan lapisan disekitar daerah tersebut memiliki kedudukan sekitar N092oE/63oSW, kemudian ketika dilakukan analisa melalui konsep harding, didapatkan bahwa sesar tersebut berjenis Sesar Mendatar Kiri. Perhatikan gambar 3.24 berikut ini.

N155oE
Gambar 3.24 Offset Bidang Sesar Kedua

3.5.4     Sejarah Geologi
Daerah Karangsambung yang selama ini kita kenal merupakan suatu kompleks melange, dimana segala jenis batuan dapat berdampingan dalam lokasi yang berdekatan. Karangsambung sendiri tersusun dalam beberapa jenis formasi batuan yang memiliki sejarah geologi yang berbeda-beda. Dalam hal ini, penulis akan membahas beberapa formasi yang menyusun dua desa yang berada di Kecamatan Karangsambung, yaitu Desa Kaligending dan Desa Plumbon.
     Formasi Waturanda dan Formasi Penosogan merupakan dua formasi yang menyusun daerah telitian penulis. Formasi Waturanda ini terbentuk pada Kala Miosen Awal hingga Miosen Tengah, kemudian selaras di atasnya terendapkanlah Formasi Penosogan yang mulai terbentuk pada Kala Miosen Tengah. Kedua Formasi ini menunjukkan ciri batuan yang berbeda yang kemudian hal tersebutlah yang menambah keunikan dari sejarah geologinya.
Untuk Formasi Waturanda sendiri memiliki ciri batupasir kasar, kemudian keatas berubah menjadi breksi dengan fragmen vulkanik, seperti misalnya basalt dan andesit dengan masa dasar batupasir kasar (coarse sand). (Gambar 3.25)

Gambar 3.25 Ilustrasi Tempat Pengendapan Formasi Waturanda

Berdasarkan gambar tersebut, dapat kita ketahui bahwa formasi yang terendapkan pada Miosen Awal hingga Miosen Tengah ini terbentuk karena pengaruh letusan gunung berapi. Hal inilah yang menyebabkan kehadiran fragmen vulkanik pada breksi yang ada di formasi ini. Hal ini menunjukkan bahwa tempat pengendapan dari formasi ini berada didaerah yang mengarah ke darat karena fragmennya yang besar yang menandakan dekat dengan sumbernya, yaitu pada daerah depan busur muka cekungan.
Selaras di atas Formasi Waturanda, terendapkan Formasi Penosogan yang dicirikan dengan perselingan batupasir gampingan, batulempung, napal dan juga kalkarenit yang dipengaruhi oleh arus turbidit. Bukan hanya itu, struktur sedimen yang terdapat pada lapisan batupasir seperti laminasi, planar-cross bedding, slump, dan lain-lain juga memperkuat interpretasi penulis mengenai lingkungan pengendapannya. Perhatikan (Gambar 3.26) berikut ini,
Gambar 3.26 Ilustrasi Proses Pengendapan Formasi Penosogan

Berdasarkan gambar di atas kita juga dapat mengetahui proses pengendapan dari Formasi Penosogan ini. Formasi yang mulai terbentuk pada Miosen Tengah ini terendapkan setelah Formasi Waturanda, namun lebih kearah laut yang lebih dalam seperti pada gambar di atas. Hal ini berarti, formasi ini terbentuk pada lingkungan laut yang lebih dalam daripada Formasi Waturanda, yaitu di daerah submarine fan, tepatnya di bagian inner fan channel dan middle fan channel. Hal terebut juga lebih dikuatkan oleh adanya bioturbasi yang berjalan horizontal, telihat pada lithologi lempung yang cukup mendominasi pada formasi tersebut.











BAB IV
GEOLOGI PARANGTRITIS


4.1. Stratigrafi Daerah Parangtritis
Secara umum daerah Parangtritis berada pada empat formasi geologi, yaitu Aluvium (Qa), Endapan Merapi Muda (Qmi), Formasi Wonosari (Tmwl), dan Formasi Nglanggran (Tmn). Aluvium (Qa) dan Endapan Merapi Muda (Qmi) terbentuk pada zaman kuarter. Formasi Wonosari (Tmwl) terbentuk pada kala Mioesen akhir hingga Pliosen. Formasi Nglanggran (Tmn) terbentuk pada kala Miosen (Rahardjo et al., 1995). Setiap formasi geologi tersusun oleh beberapa endapan permukaan maupun batuan. Formasi aluvium (Qa) terdiri dari kerakal, pasir, serta lanau dan lempung (Rahardjo et al., 1995). Endapan Merapi Muda (Qmi) di Parangtritis adalah ekstrusi lava di Parangkusumo. Batuan penyusun Formasi Wonosari (Tmwl) yang ditemukan adalah satuan batugamping. Satuan batugamping di sekitar Parangtritis antara lain batugamping berlapis, satuan batugamping bertekstur kristalin, satuan batugamping bertekstur fragmental, dan batugamping terumbu. Formasi Nglanggran (Tmn) di sekitar Daerah Parangtritis adalah satuan breksi andesit (Triana, 2014). Batuan yang telah lapuk kemudian menjadi bahan induk tanah yang menentukan jenis-jenis tanah di Parangtritis. Struktur geologi yang dijumpai di Parangtritis adalah sesar mendatar yaitu Sesar Parangkusumo dengan arah N 300áµ’ W menunjam 80áµ’ ke arah barat daya. Sesar ini mengontrol pemunculan mata air panas di Desa Parangtritis. Sudut penunjaman sesar menyebabkan pembukaan zona kekaran (fracturing zones) (Idral et al., 2003). Struktur sesar di Parangtritis dicirikan oleh lineasi anomali, kerapatan kontur, pembelokan anomali, dan pengkutuban anomali (negatif dan positif). Dari analisis keempat ciri tersebut dan anomali magnit total, di sekitar mata air panas Parangtritis terdapat 5 struktur sesar, 3 di antaranya berarah barat laut-tenggara dan 2 lainnya berarah timur laut-barat daya. Sesar yang berarah barat laut-tenggara (Sesar Parangkusumo) merupakan sesar yang mengontrol pemunculan mata air panas Parangwedang (Idral et al., 2003). Struktur - struktur Sedimen yang dipengaruhi oleh pasir dan disebabkan oleh kecepatan arah angin pada (gambar 4.1)
Gambar 4.1. Arah angin pada pasir disekitar pantai
4.2. Gumuk Pasir dan Ripple Mark Daerah Parangtritis
            Parangtritis berada di Jawa Tengah bagian selatan yang merupakan ujung bagian selatan dari Cekungan Yogyakarta dan diisi oleh Sedimen Kuarter dari Gunung Merapi, Dataran Tinggi Wonosari dan Perbukitan Progo. Keberadaaan gumuk pasir disepanjang pantai menjadi fenomena alam yang menarik pada pantai selatan Jawa. Sebagai salah satu gumuk pasir yang ada di indonesia , terdapat bermacam-macam jenis gumuk pasir di pantai ini seperti melengkung atau barchan, membujur atau longitudinal, serta bentuk parabola atau parabolic dengan berbagai karakteristik jika dilihat dari aspek sedimentologi dan sejarah pengendapannya pada iklim tropis. Untuk mengetahui lebih lanjut karakterisk gumuk maka dilakukan beberapa metode yaitu observasi peta, pengukuran Ripple Index, pengambilan sample untuk granulometri dengan cara membelah bagian tengah dari Ripple Mark, pengukuran kecepatan dan arah angin, coring, serta profil pada singkapan. Karakteristik sedimentologi dari tipe bedform berkembang menjadi small scale ripple, plane bed lamination, dan sandflow cross-stratification menjadi gumuk pasir dengan nilai ripple index perbandingan rata-rata tinggi : panjang : 1:4, sedangkan pengukuran arah angin menununjukan secara keseluruhan gumuk pasir ini berarah Tenggara – Barat Daya. Dapat disimpulkan bahwa perkembangan gumuk pasir dikontrol oleh intesitas serta proses transportasi partikelnya , selain faktor angin, vegetasi dan penghalang (IAGI, 2014). Adapun penggambaran ripple mark pada gumuk pasir di Parangtritis (Gambar 4.2).
Gambar 4.2. Struktur Ripple Mark
Ripple mark merupakan salah satu struktur sedimen yang terbentuk akibat aktivitas erosional. Pengertian ripple itu sendiri adalah suatu bentukan struktur yang menunjukkan adanya bentukan dari media pasir yang berjarak teratur pada permukaan pasir atau pada permukaan perlapisan batupasir. Perkembangan dari struktur ini adalah cross lamination, yang merupakan pola struktur laminasi internal yang berkembang saat migrasi dari struktur ripple. Pembentukan struktur ripple ini berasal dari adanya suatu arus, misalnya arus angin yang membawa material-material pasir sebagai material transport kemudian dengan mekanisme pergerakan arus yang khas mengendapkan material transport tadi pada front side suatu ripple. Ripple mark dapat dipergunakan dalam penentuan arah arus dan penentuan top dan bottom.
Gambar 4.3. Proses angin yang membentuk Ripple Mark

Didaerah Parangtritis ini memiliki arah angin yang cukup kuat dikarenakan memiliki intesitas gelombang yang tinggi serta adanya kenampakan tebing-tebing di sekitar Barat Parangtritis yang membuat angin bertambah dan dapat membuat pasir-pasir berukuran halus tertransportasi dan terendapkan ke daerah yang sedikit angin atau daerah tinggian, lama ke lamaan proses transportasi dan sedimentasi tersebut terus berlangsung dan membuat tumpukan pasir-pasir dengan volume yang banyak atau yang disebut dengan Gumuk Pasir (Sand Dune) yang mana dari gumuk pasir itu juga dapat membentuk struktur sedimen lainnya seperti Ripple Mark dan Cross Lamination, yang terbentuk karena terdapat media angin dengan intensitas yang tinggi dengan arah yang tertentu dapat membentuk suatu struktur sedimen, dan apabila terjadi perubahan arah angin juga dapat membentuk struktur cross lamination pada pasir di Parangtritis (Gambar 4.3). Serta, Gumuk pasir ini akan cenderung terbentuk dengan tidak simetri, dimana bagian yang terkena hembusan angin akan lebih lebar dan landai, sedangkan bagian yang tidak terkena angin akan berbentuk lebih kecil dan juga terjal. Apabila di sekitarnya tidak dibatasi oleh vegetasi, maka gumuk pasir ini akan terus berkembang mengikuti arah angin yang mengenainya. Bentukan dari gumuk pasir ini juga bermacam-macam, tergantung dari ukuran butir material sedimen yang dibawa, banyaknya material sedimen, kekuatan dan arah angin yang mengontrol, serta keadaan vegetasi di sekitarnya. Ketika melakukan pengamatan langsung di lapangan, penulis mendapatkan bahwa arah angin berasal dari selatan (S) hingga barat daya (SW) dengan memperhatikan perbedaan rona warna dari pasir tersebut. Selain melihat dari rona warna gumuk pasir di permukaan, kita juga dapat menyayat gumuk pasir, tepat dibagian tengahnya untuk melihat arah co-set dari gembusan gumuk pasir itu. Adapun arah angin di Parangritis ini dapat dilihat pada gambar 4.4




N

S
Gambar 4.4. Arah Angin pada Gumuk Pasir di Daerah Parangtritis dari Selatan (S) hingga Barat Daya (SW)

            Vegetasi yang menutupi permukaan gumuk pasir menyebabkan tingkat stabilitas lebih tinggi sehingga pergerakan pasir lebih rendah, hal itu disebabkan vegetasi menahan tenaga angin yang berkerja dan mengikat material pasir dengan akar.

























BAB V
KESIMPULAN

Kesimpulan yang didapatkan oleh penulis berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya yang ada di laporan ini, antara lain:
1.      Geomorfologi Daerah Karangsambung merupakan perbukitan yang terdiri dari Formasi Karangsambung, Formasi Totogan, Formasi Penasogan, Komplek Melange Luk Ulo atau Formasi Melange berumuran Pra-tersier dan terdapat struktur sesar left normal slip fault, Lag left slip fault, left slip fault.
2.      Daerah telitian, yaitu Daerah Kaligending, Plumbon dan Sekitarnya tersusun atas dua formasi batuan, yaitu Formasi Waturanda dan Formasi Penosogan
3.      Geomorfologi daerah telitian terdiri atas 4 klasifiksi bentuk lahan denudasional, antara lain (D1) Atas perbukitan yang landai sampai miring, (D2) Perbukitan yang miring sampai curam, (D6) Dataran yang Terangkat/Plateaus, (D7) Kaki lereng
4.      Satuan batuan yang menyusun daerah telitian, yaitu Satuan Breksi Formasi Waturanda dan Satuan Batu Lempung Formasi Penosogan.
5.      Struktur geologi yang menyusun daerah telitian terdiri dari beberapa sesar, yaitu Sesar Turun Menganan dan Sesar Mendatar Kiri.
6.      Proses pembentukan lahan yang terjadi pada daerah telitian berada pada stadia muda hingga stadia dewasa, yang mana dilihat dari morfologinya yang belum terlalu dipengaruhi oleh proses erosi yang berlebihan, serta sungai yang ada pada daerah terebut belum terlalu besar.
7.      Sejarah geologi pengendapan kedua formasi yang menyusun daerah telitian berdasarkan ciri lithologi, karakteristik, serta struktur sedimen yang terdapat di dalamnya, antara lain:
-          Formasi Waturanda, yang memiliki ciri lithologi breksi vulkanik-batupasir dengan lingkungan pengendapan depan busur muka cekungan .
-          Formasi Penosogan yang memiliki ciri lithologi batupasir-lempung dengan lingkungan pengendapan submarine fan, tepatnya di bagian inner fan channel dan middle fan channel.