BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Daerah
Karangsambung memiliki ciri khas geologi yang sangat menarik untuk dipelajari.
Pada daerah ini terdapat batuan Pra-tersier dengan jenis batuan yang beragam
serta tatanan dan struktur geologi yang sangat kompleks. Kondisi geologi yang
kompleks ini terbentuk karena pada Daerah Karangsambung termasuk kedalamzona meratus, yaitu
daerah pertemuan antara
lempeng samudra dan lempeng benua yang mengalami penunjaman akibat adanya gaya
konvergen. Lempeng yang saling bertabrakan tersebut membentuk boudin-boudin
lonjong yang membentuk formasi masing-masing dengan jenis batuan yang khas seperti scaly clay, serpentinit, rijang, basalt, diabas, gamping merah dan eklogit. Sebelum lempeng samudra mengalami subduksi lalu terangkat ketika gaya yang berkerja yang awalnya
divergen menjadi konvergen membuatbatuan sedimenterendapkan. Pada daerah
ini juga ditemukan batuan yang berada di laut dalam seperti rijang dan gamping merah, karena proses pengangkatan
pada lempeng samudra yang mengalami subduksi.
Geologi Karangsambung mempunyai formasi yang khas jika dibandingkan dengan
daerah lain. Hal ini terlihat dari bentuk morfologi yang berbentuk
lonjong-lonjong dan berbukit dengan terdiri
dari tiga jenis batuan yaitu batuan beku, batua metamorf, dan batuan sedimen, dan stratigrafi daerah ini sangat khas dan membentuk
formasi yang beragam seperti Formasi Komplek Melange
Luk Ulo, Formasi Karangsambung, Formasi Totogan, Formasi Waturanda, Formasi Penosogan, struktur
geologi yang berkembang pada daerah ini terdiri dari lipatan, sesar dan kekar.
Pemetaan yang dilakukan
merupakan salah satu kegiatan pengenalan geologi lapangan dengan tujuan agar
dapat memahami prosedur pemetaan geologi, serta mengenali kondisi geologi
daerah telitian. Pengenalan geologi lapangan meliputi pengunaan alat geologi,
analisa geologi struktur, stratigrafi dan petrologi.
1.2 Ruang Lingkup Kegiatan
Ruang lingkung kegiatan
pemetaan Daerah Karangsambung terdiri dari :
1. Kegiatan
difokuskan padastudi pengenalan Karangsambung dan pemetaan pada daerah telitian
yang terletak di Desa Kaligending dan Plumbon dengan luas pemetaan sebesar 1.5
km x 1.5 km (gambar 1.1). Kegiatan ini tidak melakukan analisa lebih lanjut
seperti analisis petrografi dan paleontologi.
2.
Pemetaan dilakukan selama 4 hari, kegiatan
ini meliputi berbagai pengamatan seperti geomorfologi, struktur geologi dan
petrologi, serta pengamatan lainnya.
3.
Berdasarkan peta geologi regional terdapat
struktur sesar regional dan terdapat dua formasi yaitu Formasi Waturanda dan
Formasi Penosogan, ciri dari Formasi Waturanda ini adalah terdiri atas perlapisan batupasir
dan batuan breksi sedangkan Formasi Penosogan terdiri dari
yaitu perselingan batulempung dan batuan karbonatan.
4. Struktur Geologi yang berkembang pada daerah telitian ini ialah terdapat sesar-sesar yang berukuran makro dan juga kekar.
Gambar
1.1 Lokasi Pemetaan Geologi
1.3 Tujuan
Tujuan dari laporan ini, yaitu :
1.
Untuk
mengetahui konsep-konsep geologi yang ada di Kompleks Melange
Karangsambung-Jawa Tengah
2.
Untuk
lebih memahami tentang ruang lingkup di Daerah Karangsambung
3.
Untuk
mengetahui struktur dan batuan yang berkembang di Daerah Karangsambung
4.
Untuk
memahami tentang metode measuring section
pada Kolom Stratigrafi Karangsambung khususnya di Daerah Kali Jaya
5.
Untuk
mengetahui menggunakan GPS (Geology Positioning System), orientasi medan, kompas dan scan line method.
BAB II
GEOLOGI REGIONAL
2.1 Tatanan Tektonik
Daerah
Karangsambung berada di Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia.
Daerah Karangsambung memiliki elevasi ± 11m dpl dengan morfologi yang
disebut sebagai amphitheatre, merupakan suatu antiklin raksasa yang
memiliki sumbu yang menunjam (inclined anticline) ke arah timur laut
yang telah mengalami erosi. Karangsambung merupakan daerah yang memiliki keunikan
kondisi geologi yang sangat menarik untuk dipelajari yang terususun oleh batuan
Pra-tersier dengan jenis batuan dan struktur geologi yang sangat kompleks,
kondisi ini dipengaruhi oleh adanya dua lempeng yaitu lempeng samudra dan
lempeng benua yang bertubrukan akibat adanya gaya kompres terhadap pergerakan
lempeng-lempeng tersebut.
Geologi
Karangsambung mempunyai formasi yang khas jika dibandingkan dengan daerah lain
dikarenakan pada Daerah Karangsambung ini merupakan Zona Akresi temapt
percampuran beragam jenis batuan antara lain ialah Batuan Beku, Batuan Sedimen,
Batuan Metamorf, Batuan Ofiolit dan Batuan Olisostrom. Stratigrafi daerah ini
sangat khas dan membentuk formasi yang beragam seperti Formasi Komplek Melange
Luk Ulo, Formasi Karangsambung, Formasi Totogan, Formasi Waturanda, Formasi
Penosogan, struktur geologi yang berkembang pada daerah ini terdiri dari
lipatan, sesar dan kekar.
2.2
Struktur Geologi Regional
Struktur geologi pada Daerah Karangsambung ini yang
berupa perlipatan dan sesar yang berkembang di Daerah Karangsambung.Daerah
Karangsambung dilewati oleh sungai besar yang disebut Sungai Luk Ulo dan
sungai-sungai kecil yang bermuara di Luk Ulo. Sungai Luk Ulo mengalir dari
utara hingga ke selatan daerah pemetaan (membelah Perbukitan Waturanda dan
Gunung Brujul) dan merupakan sungai yang telah memasuki tahap sungai tua
dicirikan oleh bentuk Luk Ulo yang meander. Sungai Luk Ulo dan sungai-sungai
kecil yang mengalir di Daerah Karangsambung juga memiliki peran penting dalam
pembentukan morfologi di daerah ini berkaitan dengan proses erosi dan
sedimentasi
Morfologi yang khas ini memanjang ke arah barat mulai
dari daerah Klepoh hingga Kali Larangan. Sayap-sayap dari antiklin raksasa
tersebut membentuk morfologi berupa perbukitan di bagian utara (G. Paras) dan
Selatan (G.Brujul dan Bukit Selaranda) dari daerah pemetaan. Perbukitan ini
memiliki arah memanjang E - W. Sumbu antiklin tersebut mengalami proses erosi
yang membentuk morfologi berupa lembah di Daerah Karangsambung dengan adanya
perbukitan-perbukitan terisolasi yang berupa tubuh batuan beku (intrusi) dan
batu gamping (Jatibungkus) serta konglomerat (Pesanggrahan). Pada daerah
pemetaan, di sebelah Barat Laut dari lembah Karangsambung, terdapat perbukitan
kompleks (Pagerbako dan Igir Kenong) yang tersusun atas lithologi berupa
fragmen-fragmen raksasa batuan metamorf (filit) dan Batuan Sedimen laut dalam
(perselingan rijang dan gamping merah) yang tertanam di dalam massa dasar lempung.
Perbedaan morfologi di daerah ini disebabkan oleh perbedaan karakteristik
geologi yang dicerminkan oleh lithologi yang menyusun daerah tersebut yang
memiliki kekerasan dan resistensi yang berbeda-beda terhadap erosi yang
akhirnya membentuk morfologi yang khas dari daerah ini, serta pengaruh dari
struktur geologi yang berupa perlipatan dan sesar yang berkembang di daerah
Karangsambung.Daerah Karangsambung dilewati oleh sungai besar yang disebut
Sungai Luk Ulo dan sungai-sungai kecil yang bermuara di Luk Ulo. Sungai Luk Ulo
mengalir dari Utara hingga ke Selatan daerah pemetaan (membelah perbukitan
Waturanda dan Gunung Brujul) dan merupakan sungai yang telah memasuki tahap
sungai tua dicirikan oleh bentuk Luk Ulo yang meander. Sungai Luk Ulo dan sungai-sungai
kecil yang mengalir di daerah Karangsambung juga memiliki peran penting dalam
pembentukan morfologi di daerah ini berkaitan dengan proses erosi dan
sedimentasi.
Adapun sejarah singkat
mengenai Geomorfologi Regional Karangsambung, merupakan perbukitan struktural, disebut sebagi
kompleks melange. Tinggian yang berada didaerah ini antara lain
adalah Gunung Waturanda, bukit Sipako, Gunung Paras, Gunung brujul, serta bukit
Jatibungkus. Penyajian melange di lapangan Karangsambung merupakan dalam bentuk
blok dengan skala ukuran dari puluhan hingga ratusan meter, selain itu juga
terdapat melange yang membentukl sebuah rangkaian pegunungan. Karangsambung
merupakan jejak-jejak tumbukan dua lempeng bumi yang terjadi 117 juta tahun
sampai 60 juta tahun yang lalu. Ia juga merupakan pertemuan lempeng Asia dengan
lempeng Hindia. Ia merupakan saksi dari peristiwa subduksi pada usia yang
sangat tua yaitu pada zaman Pra-Tersier. Di daerah ini terjadi proses subduksi
pada sekitar zaman Paleogene (Eosen, sekitar 57,8 juta sampai 36,6 juta tahun
yang lalu). Oleh karena itu, pada tempat ini terekam jejak-jejak proses
paleosubduksi yang ditunjukan oleh singkapan-singkapan batuan dengan usia tua
dan merupakan karakteristik dari komponen lempeng samudera. Karangsambung merupakan
tempat singkapan batuan terbesar batuan-batuan dari zaman Pre-Tersier yang
terkenal dengan sebutan Luk Ulo Melange Complex , suatu melange yang
berhubungan dengan subduksi pada zaman Crateceous (145.5 ± 4.0 hingga 65.5 ±
0.3 juta tahunyang lalu) yang diperkirakan berumur 117 juta tahun.Tersingkapnya
batuan melange di daerah Karangsambung ini disebabkan oleh adanya tektonik
kompresional yang menyebabkan daerah tersebut dipotong oleh sejumlah
sesar-sesar naik disamping adanya pengangkatan dan proses erosi yang intensif.
Apabila diperhatikan bahwa posisi batuan melange ini dijumpai di sekitar inti
lipatan antiklin dan di sekitar zona sesar naik dan kenyataannya pada saat
sekarang posisi inti lipatan ini berada di bagian lembah yang didalamnya
mengalir aliran sungai Luk Ulo yang menunjukan bahwa di daerah tersebut proses
erosi berlangsung lebih intensif.
Melange Luk Ulo didefinisikan oleh Asikin (1974) sebagai percampuran
tektonik dari batuan yang mempunyai lingkungan berbeda, sebagai hasil dari
proses subduksi antara Lempeng Indo-Australia yang menunjam di bawah Lempeng
Benua Asia Tenggara, yang terjadi pada Kala Kapur Atas-Paleosen. Melange
tektonik ini litologinya terdiri atas batuan metamorf, batuan basa dan ultra
basa, batuan sedimen laut dalam (sedimen pelagic) yang seluruhnya mengambang di
dalam masa dasar lempung hitam yang tergerus (Scally clay). Selanjutnya penulis
ini membagi kompleks melange menjadi dua satuan berdasarkan sifat dominansi
fragmenya, yaitu Satuan Seboro dan Satuan Jatisamit. Kedua satuan tersebut
mempunyai karakteristik yang sama yaitu masa dasarnya merupakan lempung hitam
yang tergerus (Scally clay). Bongkah yang berada di dalam masa dasar berupa
boudin dan pada bidang permukaan tubuh bongkahnya juga tergerus. Beberapa macam
dan sifat fisik komponen melange tektonik ini, antara lain batuan metamorf,
batuan sedimen dan batuan beku.Morfologi perbukitan disusun oleh endapan
melange, batuan beku, batuan sedimen dan endapan volkanik Kuarter, sedangkan
morfologi pedataran disusun oleh batuan melange dan aluvium. Seluruh batuan
penyusun yang berumur lebih tua dari Kuarter telah mengalami proses pensesaran
yang cukup intensif terlebih lagi pada batuan yang berumur Kapur hingga
Paleosen.Morfologi perbukitan dapat dibedakan menjadi dua bagian yang
ditentukan berdasarkan bentuknya (kenampakannya), yaitu perbukitan memanjang
dan perbukitan prismatik. Perbukitan memanjang umumnya disusun oleh batuan
sedimen Tersier dan batuan volkanik Kuarter, sedangkan morfologi perbukitan
prismatik umumnya disusun oleh batuan yang berasal dari melange tektonik dan
batuan beku lainnya (Intrusi). Perbedaan kedua morfologi tersebut akan nampak
jelas dilihat, apabila kita mengamatinya di puncak bukit Jatisamit.Bukit
Jatisamit terletak di sebelah barat Karangsambung (Kampus LIPI). Tubuh bukit
ini merupakan bongkah batuan sedimen terdiri atas batulempung merah, rijang,
batugamping merah dan chert yang seluruhnya tertanam dalam masa dasar lempung
bersisik. Pada bagian puncak bukit inilah kita dapat melihat panorama daerah Karangsambung
secara leluasa sehingga ada istilah khusus yang sering digunakan oleh para ahli
geologi terhadap pengamatan morfologi di daerah ini yaitu dengan sebutan
“Amphitheatere”. Istilah ini mengacu kepada tempat pertunjukan dimana penonton
berada di atas tribune pertunjukan. Istilah ini digunakan karena di tempat
inilah kita dapat mengamati seluruh morfologi secara lebih jelas. Beberapa
struktur geologi yang secara regional tampak pada morfologi lembahnya yang
dapat dijelaskan di tempat ini, yaitu :
1. Daerah bermorfologi pedataran
Terletak di sekitar wilayah aliran
Sungai Luk Ulo. Sungai ini merupakansungai utama yang mengalir dari utara ke
selatan mengerosi batuan melange tektonik, melange sedimenter, sedimen Tersier
(F. Panosogan. F. Waturanda, F. Halang ). Di sekitar daerah Karangsambung,
morfologi pedataran ini terletak pada inti antiklin sehingga tidak mengherankan
apabila di daerah ini tersingkap batuan melange yang berumur tua, terdiri atas
konglomerat, lava bantal, rijang, lempung merah, chert dan batugamping
fusulina. Bongkah batuan tersebut tertanam dalam masa dasar lempung bersisik
(Scally clay).
2. Morfologi perbukitan
Disusun oleh batuan melange
tektonik, batuan beku, batuan sedimen Tersier dan batuan volkanik Kuarter.
Perbukitan yang disusun oleh melange tektonik dan intrusi batuan beku umumnya
membentuk morfologi perbukitan dimana puncak perbukitannya terpotong-potong
(tidak menerus/terpisah-pisah). Hal ini disebabkan karena masing-masing tubuh
bukit tersebut (kecuali intrusi) merupakan suatu blok batuan yang satu sama
lainnya saling terpisah yang tertanam dalam masa dasar lempung bersisik (Scally
clay).
Morfologi perbukitan dimana batuan
penyusunnya terdiri atas batuan sedimen Tersier dan batuan volkanik Kuarter
nampak bahwa puncak perbukitannya menerus dan relatif teratur sesuai dengan
sumbu lipatannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan bentuk
perbukitan antara batuan melange dengan batuan sedimen Tersier/volkanik.Satuan
morfologi ini dibagi menjadi beberapa bagian yaitu, Di bagian selatan
menunjukkan struktur sinklin pada puncak Gunung Paras. Di bagian timur
sebelah barat memperlihatkan kenampakan lembah yang memanjang dan melingkar
menyerupai tapal kuda membentuk amphiteatre. Di bagian utara sampai
selatan merupakan rangkaian pegunungan seperti Gunung
Paras, Dliwang, Perahu, dan Waturondo. Setelah dilakukan
interpretasi proses pembalikan topografi, secara detail, bentuk bentang alam
dari Gunung Paras ke selatan sampai Gunung Waturondo, direkonstruksi awalnya
merupakan antikline pada lembahnya, dengan memposisikan kelurusan puncaknya,
dan Bukit Bujil sebagai pilarnya. Namun saat ini telah mejadi puncak Gunung
paras dengan struktur sinkilin dan antikilinnya,tersusun oleh batuan
Sedimentasi Breksi Volkanik. Selain itu juga, terdapat bukit- bukit seperti
Bukit Pesanggrahan, Bukit Bujil, dan Bukit Jati Bungkus.Satuan daerah
perbukitan ini, tampak bergelombang lemah dan terisolir pada pandang luas
cekungan morfologi amphiteatre. Batuan yang mengisi satuan ini, menunjukkan
Breksi Volkanik yang tersebar dari Gunung Paras sampai Gunung Waturondo dan
sinklinnya yang terlihat pada puncak Gunung Paras ke arah timur.
3. Satuan
Perbukitan-Pegunungan Kompleks Melange (Campur Aduk Batuan)
Satuan morfologi ini memperlihatkan
bukit-bukit memanjang dengan DAS Sungai Gebong dan Sungi Cacaban yang membentuk
rangkaian Gunung Wangirsambeng, Gunung Sigedag dan Bukit Sipako. Puncak Gunung
wangirsambeng berupa bentukan panorama bukit memanjang dengan perbedaan
ketinggian antara 100-300 M di atas permukaan laut. Di daerah ini juga, nampak
bentang alam yang memperlihatkan bukit-bukit prismatic hasil proses tektonik
4. Lajur
Pegunungan Serayu Selatan
Bagian utara kawasan geologi
Karangsambung merupakan bagian dari Lajur Pegunungan Serayu Selatan. Pada
umumnya daerah ini terdiri atas dataran rendah hingga perbukitan menggelombang
dan perbukitan tak teratur yang mencapai ketinggian hingga 520 m. Musim hujan
di daerah ini berlangsung dari Oktober hingga Maret, dan musim kemarau dari
April hingga September. Masa transisi diantara kedua musim itu adalah pada
Maret-April dan September-Oktober.
2.3 Stratigrafi Regional
Secara
garis besar, stratigrafi Daerah Karangsambung diurutkan berdasarkan umur dari
tua ke muda, yaitu Komplek
Melange Luk Ulo atau Formasi Melange berumuranPra-tersier, Formasi
Karangsambung yang terdiri atas
Batulempung Hitam, Formasi Totogan dengan batuan utamanya Batuan Lempung
Bersisik atau Scaly Clay, Formasi
Waturanda, terdiri atas perlapisan Batupasir dan Breksi, Formasi Penosongan, terdiri
dari perselingan Batulempung dan Batupasir Karbonat.
Adapun
penggambaran stratigrafi berdasarkan umur geologinya dapat dilihat pada gambar
berikut ini :
Gambar 2.1 Stratigrafi Regional Daerah Karangsambung (Asikin,
1994)
Berdasarkan
peta Geologi Lembar Kebumen, Jawa (S. Asikin, A. Handoyo, H. Busono, S. Gafoer
(1992)), dapat diketahui bahwa batuan di daerah ini mulai dari yang tertua
(Paleosen) hingga termuda (Pliosen) terdiri dari :
1.
Kompleks
Melange Luk Ulo yang berupa bongkah-bongkah batuan Pra Tersier dengan massa
dasar serpih hitam (berumur Kapur Atas).
2.
Formasi
Karangsambung yang tersusun oleh batulempung bersisik dengan bongkah
batugamping , konglomerat, batupasir, batugamping dan basal (berumur Eosen).
Dalam formasi ini terdapat pula batugamping terumbu yang berupa olistolit.
3.
Formasi
Totogan yang tersusun oleh breksi dengan komponen batulempung, batupasir,
batugamping dan basal (berumur Oligo-Miosen).
4.
Formasi
Waturanda yang tersusun oleh batupasir kasar, makin ke atas berubah menjadi
breksi dengan komponen andesit, basal dan massa dasar batupasir tuf. Dalam
Formasi ini terdapat anggota tuf yang tersusun oleh perselingan tuf kaca, tuf
kristal, batupasir gampingan dan napal tufaan (berumur Miosen Awal).
5.
Formasi
Penosogan yang teridiri dari perselingan batupasir gampingan, batulempung, tuf,
napal dan kalkarenit (berumur Miosen Tengah).
6.
Diabas yang
merupakan batuan beku intrusi hasil aktivitas volkanik (Miosen Tengah)
7.
Formasi
Halang yang tersusun oleh perselingan batupasir, batugamping, napal dan tuf
dengan sisipan breksi (berumur Pliosen)
8.
Formasi
Peniron yang terdiri dari breksi dengan komponen andesit, batulempung,
batugamping, serta massa dasar batupasir tufan bersisipan tuf.
9.
Endapan
Pantai yang berupa pasir lepas
10. Alluvium yang berupa endapan dengan ukuran butir lempung,
lanau, pasir, kerikil dan kerakal
BAB III
GEOLOGI KARANGSAMBUNG
3.1 Fieldtrip
Geologi Kompleks Melange Luk Ulo
Fieldtrip
geologi Kompleks Melange Luk Ulo yang dilakukan bersama tim lipi dengan empat
lokasi penelitian (Gambar 3.1) dengan batuan yang tersingkap yaitu batuan beku
diabbas dan batuan metamorf serpentinit, gamping merah, rijang dan metamorfik
eklogit.
Gambar 3. Lintasan lokasi pengamatan
3.1.1 Lokasi Penelitian 1
Lokasi penelitian 1 terletak di
Gunung Parang dimana terdapat singkapan batu diabas dengan kedudukan N 90o
E adanya microcontinental
yang menganjal menyebabkan vulkanik menjadi aktif kembali, terdapat lapisan
diterobos Formasi Totogan berupa columnar joint menerobos lapisan dengan
intrusi berupa sill pada perlapisan batu lempung. Intrusi terjadi setelah
batuan Formasi Karansambung terbentuk dimana intrusi memiliki umur lebih muda
dari batuan Formasi Karangsambung. Pada batuan tersebut terdapat kekar kolom,
dimana kekar ini terbentuk karena gaya pengerutan akibat pendinginan magma dan
terjadi intrusi dangkal pada batuan beku, selain itu terdapat rekahan yang
terisi oleh mineral kalsit dan zeolit, (Gambar 3.2)
Gambar 3.2 Singkapan batu diabbas
Batuan diabas memiliki karakteristik berupa warna
hitam, holokristalin, porphilitik,
equigranular, memiliki tekstur khusus diabbasik dimana mineral plagioklas
menginklusi mineral lain menyerupai parutan kelapa, batuan beku intrusif
terdapat mineral yang didominasi oleh plagioklas, biotite dan zeolit, lokasi
ini mengindikasikan proses magmatisme yang dicirikan adanya batuan diabbas.
3.1.2 Lokasi Penelitian 2
Lokasi pengamatan 2 merupakan pengamatan morfologi
dengan kedudukan singkapan N 062 E dimana pada bagian utara merupakan Formasi
Pra Tersier dan dibagian selatan Formasi Tersier (Gambar 3.3). Pada pengamatan
ini Formasi Totogan menjari dengan Formasi Karangsambung dan terdapat batuan
sedimen disostrom dimana akibat longsoran lempeng benua.
Gambar 3.3 Morfologi daerah Karangsambung
Formasi Waturanda terdapat batuan breksi vulkanik dan
batupasir greywacke. Diendapkan secara “gravity mass flow” atau
dengan arus turbidit terdapat litologi batuan yang lebih didominasi sedimen
proses olisostrom atau gaya yang diberikan dengan fragmen vulkanik. Di atas
Formasi ini diendapkan Formasi Panosogan secara selaras. Kenampakan fisik
perbukitan melange dengan perbukitan yang begerigi dan memiliki puncak
tersendiri dengan litologi batuan berbeda dan tingkat resistensi batuan tidak
sama. Adanya scaly clay terbentuk
pada bagian zona subduksi cenderung lebih kompak kemudian terangkat terendapkan
diantara Horst dan Graben secara normal mengikiuti
morfologi.
3.1.3 Lokasi Penelitian 3
Lokasi pengamatan 3 terletak Desa Puncangan dengan
kedudukan singkapan N354 E dengan elevasi 102 mdpl tersingkap batuan
serpentinit yang karakateristik hitam, nematoblastik, no-foliasi, metamorfisme
regional, ubahan dari mineral olivine - klorit, sebagai pembentuk mineral talk
dengan fasies green skis,
Serpentinit, Regiolit, dan Peridotit. Pembentukan batuan ini dikenal dengan serpentinisation. Sebagai bukti komplek
melange karangsambung terbagi atas 2 kelas yaitu Komplek Melange akibat
tektonik terdiri atas Ofiolit dan Boudine dan Komplek Melange pengaruh adanya
sedimen berupa olisostrom dan olistolite. Peridotit terubahkan menjadi
serpentinit dan terjadi uplift, lalu terbentuk patahan saat proses
pengangkatan, dan kemudian bongkahan batuan tercampur kembali dan membentuk
singkapan seperti saat ini.
3.1.4 Lokasi Penelitian 4
Lokasi penelitian 4 berada pada Kalimuncar dengan
kedudukan singkapan N110E , terdapat singkapan batugamping merah, batu rijang,
metamorfik eklogit dan lava bantal (Gambar 3.4). Karakteristik batuan rijang
dengan warna merah mudah, kalkarenit, subrounded,
poorly sorted, baik, kompak, berangsur, silikaan. Terdapat pecahan
choncoidal dengan sedimen pelagik laut dalam sejarah tegak, Red bed, dari kandungan Fe diperkirakan
terdapat fosil radiolaria. Lalu karakteristik batugamping dengan warnah merah,
jenis batu sedimen klastik, ukuran butir silt- clay (kalsilutit), kemas
tertutup, sortasi baik, kompak dengan komposisi CaCO3. Sedangkan
singkapan batuan sedimen pada dinding tebing bagian atas lava bantal, dengan
bagian bawah tebing rijang dan adanya lapisan tipis gamping merah dengan
karakter batuan merah muda, silt-clay, subronded,
well sorted,kompak, tajam, karbonatan. Metamorfik eklogit memiliki
karakteristik tekstur granoblastik, non foliasi, komposisi mineral, garnet,
mika, dan amphibole.
Gambar 3.4 Singkapan batuan
gamping dan rijang
3.2
Struktur
Geologi Kalimandala
Daerah
Kalimandala merupakan perbatasan Formasi Pratersier dan Tersier. Formasi
Pratersier merupakan termasuk dalam Formasi Kompleks Melange Luk Ulo dan
Formasi Tersier termasuk dalam Formasi Karangsambung, Totogan, Waturanda, dan
Penosogan. Dimana pada lokasi banyak terdapat struktur-struktur yang bekerja
akibat pertemuan dari formasi tersebut. Lokasi penelitian dibagi menjadi dua
yaitu bagian hiir dan hulu.
3.2.1 Lokasi Penelitian Hilir
Pada
bagian hilir disungai Kalimandala terdapat banyak struktur-struktur baik
struktur mikro maupun makro. Keterdapatan struktur mikrofault berupa cermin
sesar dengan gaya tegasan utama berada di baratdaya timurlaut (Gambar 3.5),
dengan hasil pengukuran strike/dip N 065 E/54 E, trend N 104 E, plunge N 045 E,
rake 53, penamaan sesar Lag left slip fault (Rickard, 1972).
Gambar 3.5 Struktur Geologi Kalimandala
3.2.2 Lokasi Penelitian Hilir
Pada bagian hulu sungai
Kalimandala memiliki banyak struktur dengan lebih kompleks. Dan juga didapat
sesar makro didapat berupa data shear fracture, gash fracture dan
breksiasi . Semakin ke atas juga banyak terdapat struktur makro menandakan
semakin kuat struktur yang bekerja daripada yang dihilir Gambar 3.6. Pada
daerah ini terdapat kekar dan cermin sesar dengan litologi breksi lava dengan
massa dasar lava basalt berfragmen gamping, rijang. Pada lokasi pengamatan
didapat strukrur makro dan mikro, dimana pada struktur mikrofault dengan gaya
utama berarah baratdaya timutlaut dengan hasil pengukuran strike/dip
N 015 E/66 E, trend N 141 E, plunge N 009 E, rake 10, penamaan left slip fault (Rickard, 1972). Lalu pengukuran selanjutnya didapat strike/dip
: N 070 E/72 E, trend N141E, plunge N
072 E, rake 40 dengan penamaan left
normal slip fault (Rickard, 1972).
Gambar 3.6 Strukutur geologi Kalimandala
3.3
Stratigrafi
Kali Jaya
Kalijaya merupakan merupakan termasuk dalam Formasi Penosogan
dimana terletak selaras dengan Formasi Waturanda Formasi ini ditandai dengan
adanya batupasir, batulempung yang mengandung karbonatan, napal, kalkarenit.
Lokasi penelitian Kalijaya dengan cuaca cerah didapat lapisan dari hulu ke
hilir didapat berupa batupasir, batulempung yang mendominasi pada lokasi ini
adalah sisipan batupasir. Dimana pengendapan dimulai dari batulempung lalu
diendapkan sisipan batupasir dengan lapisan top
sisipan batupasir dan bottom batulempung
(Gambar 3.7). Pada batuan tersebut banyak didapat struktur-struktur yang
menunjukkan bahwa lokasi ini merupakan terjadi trangresi dan agresi turun
naiknya muka air laut, regresi ditandai adanya batuan pasir dan batulempung
karbonatan yang menandakan terjadi kenaikan muka air laut (transgresi) . Pada
batupasir finesand dan mediumsand terdapat struktur berupa
laminasi dan planar crossbedding.
Dimana laminasi menandakan arus yang tenang yang bisa mengendapkan batupasir,
dan planar cross bedding berada diatas
laminasi yang menandakan gelombang berada diarus tenang. Pada lokasi ini
memiliki stratigrafi yang menunjukkan lebih jelas dan secara kompleks tentang
yang sikuen bouma yang menjelaskan arus dan pengendapannya secara detail dalam meansuring section (Lampiran 1).
Gambar 3.7 Stratigrafi Kalijaya
3.4
Orientasi
Medan dan Pengamatan Singkapan
Orientasi medan adalah
kemampuan dalam mengenali tanda-tanda alam yang ada di lapangan dan
mencocokannya dengan peta. Orientasi ini dilakukan dengan cara mengenali tempat
tinggian atau lebih mencolok, seperti gunung, bukit, tower dll. Sedangkan
Observasi singkapan adalah pengamatan dilakukan dilakukan untuk memperoleh
data-data dilapangan. Singkapan yang dijumpai dapat dilihat dari jauh dan
diamati secara dekat, untuk memperjelas dan memastikan kondisi dipeta dan
kondisi lapangan yang sesungguhnya. Orientasi medan ini sangat berguna untuk
mengetahui lokasi keberadaan.
Kegiatan orientasi medan dilakukan dengan beberapa tahap yakni :
·
Diawali dengan
membuka kompas dan melihat arah utara kompas, Selanjutnya membentangkan peta
dan menyamakan arah utara peta dengan arah utara kopas
·
Lalu tembak
menggunakan kompas bagian yang dapat dilihat dengan jelas di peta dan juga di
kenampakan sebenarnya misalkan gunung, bukit,dan juga yang lainnya.
·
Kemudian plot
derajat yang telah ditembak tadi, maka akan di dapat perpotongan
antara garis dan disitulah
lokasi kita berada.
3.4.1 Lokasi Penelitian 1
Lokasi penelitian 1 dengan orientasi medan pada Gunung
Paras N 034 E dan Gunung Brujul N 216 E. Titik lokasi ini berada pada sumbu
lipatan, lipatan menunjam ke arah BaratTimur, yang bernama perbukitan
amphiteater, dimana terjadi pembalikan morfologi akibat adanya tekanan. Bagian
tengah dari perbukitan amphiteater adalah lembah. Bagian sumbu lipatan atau
puncak lipatan telah tererosi karena resistensi batuan yang rendah serta adanya
struktur batuan yang mempermudah proses erosi dan membentuk bentuk lahan
denudasional. Lipatan yang bekerja berupa lipatan plungin atau menunjam, pada bagian lipatan terdapat sesar turun.
Lipatan amphiteater dahulunya membentuk seperti lipatan antiklin, lalu karena
adanya pengaruh erosi sehingga menjadi terlihat seperti lipatan sinklin.
Bentukan morfologi yang nampak pada lokasi ini bisa terlihat seperti pada
Gambar 3.8
N 216 E
|
N 034 E
|
Gambar 3.8 Gunung paras dan Gunung Brujul
3.4.2 Lokasi Penelitian 2
Lokasi penelitian 2 dengan orientasi medan pada Gunung
Paras N 005 E dan Gunung Brujul N 255 E. Pada LP. 2 ini juga masih
menjadikan morfologi pegunungan yang dijadikan acuan , lokasi pengamatan ini
merupakan kemenerusan dari titik penelitian pertama, lokasi ini semakin
mendekati sumbu lipatan atau perbukitan amphiteater Gambar 3.9
N 255 E
|
N 005 E
|
Gambar 3.9 Gunung Paras dan Gunung Brujul
3.4.3 Lokasi Penelitian 3
Lokasi penelitian 3 tidak jauh dari lokasi orientasi
medan sekitar 10 meteran berada pada kali susu
tetapi berada diatas dimana terdapat singkapan banyak seperti gamping
kristalin, dan gamping terumbu. Singkapan batuan tersebut banyak ditutupi oleh
vegetasi. Dari singkapan yang dijumpai dapat dilihat dan diamati bentukan dan
struktur serta tekstur dari batuan tersebut. Pada Lokasi penelitian ini
terdapat singkapan dengan litologi batugamping dimana terdapat olistolit berupa
fragmen-fragmen batuannya adalah fosil – fosil bentos, maka dapat di
interpretasikan bahwa lingkungan pengendapan pada lokasi ni adalah lingungan
laut dangkal dengan kedalaman 0 – 200 meter dibawah permukaan air laut (Gambar
3.10).
Gambar 3.10 Singkapan batugamping
3.4.4 Lokasi Penelitian 4
Pada lokasi penelitian 4 berada pada Formasi
Waturanda, Gundukan Breksi dan batupasir. Lokasi penelitian ini terletak di
Formasi Waturanda dengan perselingan batupasir, batubreksi serta terdapat beda
fasies membaji, erosional, dan perlapisan (Gambar 3.11). Pada lokasi Penelitian
ini terdapat singkapan batuan yang berada dipinggir jalan berhadapan dengan
sungai Luk Ulo, dimana morfologi singapannya berupa tebing yang membentuk
gundukan yang curam dan telah ditutupi oleh vegetasi. Pada singkapan ini
terdapat kontak batubreksi dan batupasir coarse,
pada batannya cenderung resisten dengan kedudukan N124E/ 44 E, kontak yang
pertama batupasir dengan warna abu-abu, rounded
dan kompak dengan grain size pasir medium, kemudian terdapat kontak
batupasir dengan breksi (N 135 E/45) lalu batu breksi memiliki fragmen pecahan
basalt, kompak, angular, abu-abu,
selanjutnya terdapat kontak breksi dan batupasir kasar (N 124 E/63).
Litologinya memiliki kesamaan dengan batuan sebelumnya, lalu terdapat kontak
batuan breksi dengan batupasir kasar (N 165 E/32 E) dan membentuk beda fasies
membaji, kemudian juga terdapat struktur eksfoliasi.
Gambar 3.11 singkapan batuan
kontak batubreksi dan batupasir
3.5 Geologi Daerah
Kaligending – Plumbon dan Sekitarnya
Analisa
pemetaan lapangan pada daerah telitian dimulai dengan pembuatan peta lintasan
yang dibuat menggunakan peta topografi daerah penelitian sebagai acuan. Hal
tersebut berguna untuk memaksimalkan
pemahaman penulis serta pembaca dalam memahami aspek-aspek geologi yang ada
pada daerah telitian. Perhatikan (Lampiran Peta lintasan).
3.5.1
Geomorfologi
Lokasi pengamatan daerah
telitian, yaitu Kaligending – Plumbon merupakan kawasan hutan, perkebunan,
persawahan, serta perumahan warga yang termasuk dalam bentuk lahan asal
denudasional. Pengklasifikasian bentuk lahan ini ditentukan berdasarkan ciri
kontur yang beragam (Lampiran Peta Topografi), kemiringan lereng dari setiap
tempat yang berbeda-beda (Lampiran Peta Kemiringan Lereng), serta juga melihat
pola aliran sungai dari daerah telitian yang berpola dendritik (Lampiran Peta
Pola Aliran Sungai). Klasifikasi bentuk lahan denudasional dari daerah telitian
ini, yaitu D1 (Perbukitan Denudasional Landai), D2 (Perbukitan Denudasional
Sedang), D6 (Dataran yang Terangkat/Plateaus), dan D7 (Kaki Lereng) yang mana
termasuk dalam klasifikasi Van Zuidam, 1985 (Lampiran Peta Geomorfologi).
3.5.1.1 Pola Aliran
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, daerah telitian
ini, yaitu Kaligending-Plumbon dan sekitarnya memiliki sungai dengan pola
aliran dendritik (Lampiran Peta Pola Aliran Sungai). Penentuan pola aliran ini
berdasarkan pada bentuk keseluruhan dari sungai yang penulis lihat pada daerah
telitian. Pada daerah ini, dominasi sungainya memperlihatkan pola percabangan
sungai yang berbentuk seperti pohon. Pola ini lebih kita kenal dengan pola
aliran dendritik.
Pola aliran dendritik ini mencirikan lapisan batuan yang
seragam. Hal tersebut dikarenakan pola ini membentuk percabangan sungai yang
banyak, dimana hal tersebut dapat terjadi apabila lithologi batuan yang
terdapat pada daerah tersebut adalah seragam. Penjelasan ini tentu saja sesuai
dengan fakta yang penulis dapatkan dilapangan, dimana lithologi batuan yang
mengontrol daerah tersebut adalah seragam.
3.5.1.2 Kemiringan Lereng
Kemiringan lereng yang ada pada daerah telitian ini tentu
akan lebih mudah dimengerti apabila pembaca melihat gradasi rona warna yang
telah penulis tampilkan pada peta kemiringan lereng daerah telitian (Lampiran
Peta Kemiringan Lereng). Melalui peta tersebut akan sangat jelas bahwa daerah
ini memiliki kemiringan lereng yang beragam. Terdapat beberapa tempat dengan
klasifikasi kemiringan lereng yang datar, namun ada juga beberapa tempat yang
memiliki klasifikasi kemiringan lereng curam ekstrem. Perbedaan dari setiap
klasifikasi kemiringan lereng yang terjadi di daerah tersebut disebabkan oleh
proses denudasional yang berbeda-beda pula.
Pada daerah telitian penulis ini sendiri didominasi oleh
kemiringan lereng dengan klasifikasi agak curam hingga curam. Hal ini dapat
dilihat dari kontur yang cukup rapat, dimana banyak ditemukan pada daerah
telitian penulis. Berdasarkan klasifikasi tersebut juga, dapat diketahui bahwa
proses denudasional yang bekerja pada daerah ini mulai terjadi secara intensif.
Selanjutnya proses itulah yang kemudian membuat persentase kemiringan lereng
pada daerah telitian semakin besar.
3.5.1.3 Satuan Lahan
Seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya, daerah
telitian ini memiliki bentuk lahan asal denudasional. Hal ini ditentukan
berdasarkan hal-hal yang telah penulis observasi di lapangan. Untuk
pengklasifikasiannya sendiri akan lebih jelas jika pembaca melihat langsung
delinasi peta geomorfologi yang telah penulis buat sebelumnya (Lampiran Peta
Geomorfologi). Daerah telitian ini terdiri dari D1 (Perbukitan Denudasional Landai), D2 (Perbukitan
Denudasional Sedang), D6 (Dataran yang Terangkat/Plateaus), dan D7 (Kaki
Lereng) yang mana termasuk dalam klasifikasi Van Zuidam, 1985.
3.5.1.3.1 Perbukitan Denudasional Landai (D1)
Untuk klasifikasi pertama
adalah Perbukitan Denudasional Landai (D1), yaitu mengenai perbukitan
denudasional yang memiliki karakteristik topografi yang berbukit-bukit dan
bergelombang, dengan kemiringan lereng berkisar antara 15 – 55%. (Gambar 3.12)
N 334o E
|
Gambar
3.12 Bentukan Klasifikasi
Perbukitan Denudasional Landai (D1)
Seperti
yang telah dituliskan sebelumnya, daerah ini memiliki pola aliran sungai
dendritik (Lampiran Peta Pola Pengaliran Sungai), serta kemiringan lereng yang
beragam, yaitu mulai dari curam (30-70%) hingga agak miring (2-7%), (Lampiran
Peta Kemiringan Lereng). Bukan hanya itu, namun juga perbedaan ketinggian
relief (relief local) yang berkisar
antara 50 - <500m.
3.5.1.3.2
Perbukitan Denudasional Sedang (D2)
Klasifikasi
kedua yaitu Perbukitan Denudasional Sedang (D2) yang menunjukkan suatu bentukan
perbukitan dan lereng denudasional yang memiliki tingkat erosi dari sedang
hingga parah. (Gambar 3.13)
|
Gambar
3.13 Bentukan Klasifikasi Perbukitan Denudasional Sedang (D2)
Bentukan
lereng yang ada pada klasifikasi ini mulai dari lereng yang sangat curam
(70-140%) hingga agak curam (15-30%), (Lampiran Peta Kemiringan Lereng).
Kemudian seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa topografi pada daerah
ini bergelombang kuat sampai dengan berbukit.
Pengklasifikasian bentuk
lahan denudasional pada daerah penelitian ini diperkuat oleh keterdapatan
bidang-bidang longsoran yang banyak dijumpai pada daerah telitian. (Gambar 3.14).
|
Gambar 3.14 Longsoran pada
daerah telitian
Longsoran merupakan salah
satu ciri bahwa suatu daerah mengalami proses denudasi, dimana proses ini
didukung dengan adanya tebing yang tinggi atau lereng yang terjal yang
menyebabkan wilayah tersebut mudah mengalami longsor, serta terdapatnya
lembah-lembah yang dicirikan dengan sungai-sungai kecil yang memotong kontur.
3.5.1.3.3 Dataran yang Terangkat/Plateus (D6)
Klasifikasi
selanjutnya adalah Dataran yang Terangkat/Plateus (D6), dimana klasifikasi ini
menunjukkan bentukan lahan yang hampir datar pada suatu daerah. Meskipun
demikian, topografi dari daerah ini adalah landai hingga bergelombang, dengan
elevasi yang tinggi. Hal tersebut juga ditunjang oleh data kemiringan lereng
dari daerah ini, yaitu miring (7-15%) hingga landai (0-2%), (Lampiran Peta
Kemiringan Lereng). Penjelasan ini sangat cocok jika kita memperhatikan bentuk
dan kondisi sekitar pada lokasi penelitian. (Gambar 3.15)
Gambar
3.15 Dataran yang
Terangkat/Plateus
3.5.1.3.4 Lereng Kaki (D7)
Kemudian
klasifikasi terakhir adalah Lereng Kaki (D7) yang akan membentuk area memanjang
dan relative sempit yang terletak di kaki pegunungan/perbukitan dengan topografi
landai hingga berombak. Selain itu jika dilihat berdasarkan kemiringan
lerengnya, daerah ini memiliki kemiringan lereng dari miring (7-15%) hingga
agak miring (2-7%), (Lampiran Peta Kemiringan Lereng). Klasifikasi ini
terbentuk pada daerah kaki gunung serta lembah ataupun dasar cekungan (basin).
(Gambar 3.16)
|
Gambar
3.16 Sungai yang Menunjukkan
Kenampakan Lereng Kaki
Selain itu, daerah ini
umumnya memang sering dilewati oleh fragmen-fragmen batuan hasil pelapukan
daerah yang berada di atasnya, yang kemudian diangkut oleh tenaga pengangkut
yang bekerja pada daerah tersebut (aliran sungai).
3.5.1.4
Sayatan
Penjelasan
mengenai sayatan ini akan lebih mudah dipahami apabila pembaca juga melihat
tampilsan penampang geomorfologi yang telah penulis rekonstruksikan sebelumnya
(Lampiran Peta Geomorfologi). Pada peta tersebut, penulis telah membuat dua
sayatan, yaitu sayatan A-A’ dan juga B-B’. Kedua sayatan tersebut diambil
dengan memperhatikan klasifikasi bentuk lahan yang ada.
Sayatan
A-A’ ditarik dari sisi NW menuju ke arah SE. Ketika dilakukan rekonstruksi
penampangnya, kemudian didapatkan morfologi dari klasifikasi bentuk lahan yang
dipotong oleh sayatan ini adalah D2, D7, D6, D1, lalu kemudian kembali lagi D6
dan D7. Untuk penjelasan dari klasifikasi tersebut dapat langsung dilihat dari
pemerian yang terdapat di peta (Lampiran Peta Geomorfologi). (Gambar 3.17)
Gambar 3.17 Penampang A-A’ Peta Geomorfologi
Sayatan B-B’ ini ditarik dari sisi NE
menuju ke arah SW. Kemudian ketika penulis melakukan rekonstruksi pada
penampangnya, didapatkan morfologi dari klasifikasi bentuk lahan yanng dipotong
oleh sayatan ini, yaitu D7, D6, lalu D7, D6, D1 dan juga D2 dengan penjelasan
yang dapat langsung dilihat dari pemerian yang terdapat pada peta (Lampiran
Peta Geomorfologi). (Gambar 3.18)
Gambar 3.18 Penampang B-B’ Peta Geomorfologi
3.5.2
Stratigrafi
Stratigrafi
daerah telitian, yaitu daerah Kaligending-Plumbon dan sekitarnya yang termasuk
ke dalam daerah pemetaan penulis terdiri dari dua formasi batuan, yaitu Formasi
Waturanda kemudian selaras diatasnya terdapat Formasi Penosogan. Kemudian
berdasarkan perbedaan kedua formasi tersebut yang telah didapatkan di lapangan,
penulis membagi daerah penelitian menjadi sua satuan batuan, yaitu Satuan
Batubreksi Formasi Waturanda dan Satuan Batulempung Formasi Penosogan.
3.5.2.1 Satuan Breksi Formasi Waturanda
Penamaan satuan ini
berdasarkan dari kesamaan ciri lithologi serta struktur sedimen yang berkembang
pada batuan, karakteristik breksi vulkanik dapat diindentifikasi dari fragmen
yang menyusunnya . (Gambar 3.19)
Gambar 3.19 Satuan
Batubreksi Formasi Waturanda
3.5.2.1.1 Ciri Lithologi
Berdasarkan gambar 3.19, diketahui
bahwa ciri lithologi yang terdapat pada satuan batubreksi ini, antara lain:
a.
Breksi dengan warna lapuk
coklat kehitaman dan warna fresh
abu-abu kehitaman. Breksi dengan fragmen batuan beku seperti andesit dan basalt
dengan ukuran butir cobble hingga pebble berdasarkan skala Wentworth (1992),
kemudian dengan massa dasar coarse-medium sand.
b.
Batupasir dengan warna
lapuk abu-abu kehitaman dan warna fresh abu-abu, dengan ukuran butir coarse
sand hingga medium sand serta semen silika. Karakteristik dari batupasir
waturanda ini adalah teksturnya yang kasar serta hasil robakan vulkanik,
berbeda dari formasi lain yang ada pada daerah tersebut.
3.5.2.1.2 Sebaran dan Ketebalan
Sebaran dari Satuan
Batubreksi Formasi Waturanda ini menempati sekitar 50% dari luasan keseluruhan
daerah penelitian penulis. Singkapan breksi tersebar dibagian utara Desa
Kaligending dan juga Plumbon.
Berdasarkan Peta Geologi (Lampiran Peta Geologi), Satuan ini terdapat
pada bagian utara dari daerah telitian. Satuan batuan ini memiliki kedudukan
dominan pada kuadran 1 dan kuadran 2, yaitu sekitar N086oE/56oSW.
Ketebalan dari Satuan Batubreksi Formasi Waturanda ini jika dilihat berdasarkan
lebar permukaan, mencapai sekitar 750 m.
3.5.2.1.3 Umur
Penulis tidak melakukan
analisa fosil untuk menentukan umur dari batuan yang terdapat pada lokasi
penelitian. Hal ini didukung oleh ciri lithologi, kandungan karbonatan, serta
struktur sedimen yang berkembang pada batuan, sehingga penentuan umur satuan
batuannya didasarkan pada data regional Peta Geologi Regional Lembar Kebumen (S.Asikin,
A.Handoyo, H.Busono dan S.Gafoer 1992 ). Berdasarkan data tersebut, kemudian
diketahui bahwa satuan batuan ini terbentuk pada Miosen Awal – Miosen Tengah.
3.5.2.1.4 Lingkungan Pengendapan
Berdasarkan pengamatan
lapangan yang kemudian didukung oleh ciri lithologi dan ukuran butir yang ada
pada Satuan Batubreksi Formasi Waturanda, diketahui bahwa lingkungan
pengendapannya adalah pada bagian depan busur muka cekungan, dari shoreline menuju ke arah darat (Gambar 3.20). Hal ini didukung oleh
fragmen vulkanik yang berukuran besar (dekat dengan sumber) pada daerah
telitian.
Gambar 3.20
Pemodelan Lingkungan Pengendapan Satuan Batubreksi Formasi Waturanda (Asikin,
1994)
Seperti yang ada pada gambar
3.20, daerah karangsambung mulanya merupakan zona prisma akresi
yang masih terendapkan di bawah muka air laut, kemudian daerah tersebut terus
mengalami penumpukan sehingga pada Miosen Awal – Miosen Tengah sedimentasi di daerah tersebut mulai
menunjukkan pengendapan pada daerah darat (non-karbonatan). Pada saat itulah
Formasi Waturanda mulai terbentuk. Dimana breksi vulkanik serta batupasir yang
tidak mengandung karbonatan mulai hadir. Jika kita hubungkan hal dengan data measuring section yang telah dibuat oleh
penulis, maka didapatkan gradasi ukuran butir yang kasar dengan fragmen batuan
vulkanik, seperti andesit dan basalt tanpa kandugan karbonatan di bagian bawah
yang menandakan lingkungan pengendapan ke arah darat (Lampiran MS 1 dan 2).
3.5.2.2Satuan Batulempung Formasi Penosogan
Penamaan satuan batuan ini
berdasarkan dari kesamaan ciri lithologi, komposisi kimia, serta struktur
sedimen yang berkembang pada batuan tersebut. (Gambar 3.21)
Gambar 3.21 a.
Satuan Batulempung pada Formasi Penosogan; b. Struktur Sedimen Berupa Slump pada Batupasir di Formasi Penosogan; c. Salah satu Singkapan Batuan pada Formasi Penosogan; d. Gradasi Ukuran
Butir pada Formasi Penosogan; e. Struktur Sedimen Berupa Laminasi; f. Struktur
Sedimen Berupa Planar Cross Bedding
3.5.2.2.1 Ciri Lithologi
Berdasarkan gambar 3.21,
diketahui bahwa ciri lithologi yang terdapat pada satuan batulempung ini,
antara lain:
a.
Batulempung dengan warna lapuk abu-abu kecoklatan
dan warna freshkrem. Batulempung ini mengandung karbonatan serta
memperlihatkan keterdapatan bioturbasi yang berjalan secara horizontal.,
kemudian dengan massa dasar coarse-medium sand.
b.
Batupasir dengan warna
lapuk abu-abu kecoklatan
dan warna fresh abu-abu muda,
dengan ukuran butir medium
sand hingga very fine
sand jika dilihat berdasarkan skala Wentworth (1992).
Karakteristik dari batupasir waturanda ini adalah kandungan karbonatannya, selain itu juga
struktur-struktur sedimen yang berkembang, seperti laminasi, planar cross
bedding, slump, serta struktur sedimen lain.
3.5.2.1.2 Sebaran dan Ketebalan
Sebaran dari Satuan
Batulempung Formasi Penosogan ini menempati sekitar 50% dari luasan keseluruhan
daerah penelitian penulis. Singkapan batulempung tersebar dibagian selatan Desa
Kaligending dan juga Plumbon.
Berdasarkan Peta Geologi (Lampiran Peta Geologi), Satuan ini terdapat
pada bagian selatan dari daerah telitian. Satuan batuan ini memiliki kedudukan
dominan pada kuadran 1 dan kuadran 2, yaitu sekitar N086oE/56oSW.
Ketebalan dari Satuan Batulempung Formasi Penosogan ini jika dilihat
berdasarkan lebar permukaan, mencapai sekitar 750 m.
3.5.2.1.3 Umur
Penulis tidak melakukan
analisa fosil untuk menentukan umur dari batuan yang terdapat pada lokasi
penelitian. Hal ini didukung oleh ciri lithologi, kandungan karbonatan, serta
struktur sedimen yang berkembang pada batuan, sehingga penentuan umur satuan
batuannya didasarkan pada data regional Peta Geologi Regional Lembar Kebumen (S.Asikin,
A.Handoyo, H.Busono dan S.Gafoer1992). Berdasarkan data tersebut, kemudian
diketahui bahwa satuan batuan ini terbentuk pada Miosen Tengah.
3.5.2.1.4 Lingkungan Pengendapan
Berdasarkan pengamatan
lapangan yang kemudian didukung oleh ciri lithologi dan komposisi kimia, serta
struktur sedimen yang berkembang pada Satuan Batulempung Formasi Penosogan,
diketahui bahwa lingkungan pengendapannya adalah pada bagian Sub-marine fan(Gambar 3.22). Hal ini
didukung oleh kandungan karbonatan yang ada pada satuan batuan tersebut. Selain
itu, struktur sedimen seperti laminasi, planar-cross bedding, serta bioturbasi
yang berjalan secara horizontal juga menguatkan analisa penulis mengenai
lingkungan pengendapan dari formasi ini.
Gambar 3.22 Pemodelan
Lingkungan Pengendapan Satuan Batulempung Formasi Penosogan (Asikin, 1994)
Seperti yang ada pada gambar
3.22, daerah yang telah mengalami penumpukan sehingga berubah
menjadi lingkungan pengendapan darat tersebut, kemudian kembali tergenangi oleh
air laut. Pada saat ini (Miosen Tengah) mulailah terendapkan Satuan Batulempung
Formasi Penosogan dengan kandungan karbonatan yang melimpah serta
struktur-struktur sedimen yang terbentuk bersamaan dengan fase pengendapannya.
Berbeda dari Formasi Waturanda, pada Formasi Penosogan ini, ukuran butir
batuannya lebih halus. Jika kita hubungkan dengan data measuring section yang telah dibuat oleh penulis bahkan
ditemukannya batulempung dengan kandungan karbonatan di beberapa tempat yang
menandakan bahwa itu adalah material yang berasal dari daerah laut (Lampiran MS
1 dan 2). Hal tersebut menguatkan analisa penulis mengenai tempat pengendapan
dari formasi ini seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
3.5.3
Struktur
Geologi
Struktur geologi yang
terdapat pada Daerah Kaligeding dan Plumbon di pengaruhi oleh aktivitas
tektonik dengan arah utama utara-selatan dari kenampakan data DEM (lampiran
peta kelurusan), dan hasil observasi stuktur geologi terdapat beberapa struktur
sesar, yaitu sesar turun menganan dan sesar turun mengiri.
3.5.3.1 Sesar
Turun Menganan Kaligending
Lokasi
pertama keterdapatan sesar berada pada koordinat 07o34’57.6’’, 109o41’26,7’’.
Terdapat bidang sesar dengan kedudukan N340oE/87oNE,
kemudian didapatkan throw sebesar 65
cm dan heave sebesar 0,6 cm dengan hangingwall relatif turun terhadap footwall. Perhatikan gambar 3.23 yang
ada dibawah ini.
Gambar 3.23 Offset
Bidang Sesar Pertama
Karena tidak ditemukan slicken slides pada sesar tersebut, maka
penentuan nama sesar dilakukan dengan menggunakan konsep harding. Kelurusan
lapisan disekitar daerah keterdapatan sesar tersebut memiliki kedudukan N102oE/52oSW,
sehingga diketahui bahwa sesar terebut adalah sesar turun menganan.
3.22 Sesar Mendatar Kiri
Plumbon
Lokasi kedua berada pada
koordinat S07.58610, E109.69561 atau pada Desa Plumbon. Memiliki kedudukan N210oE/20oNW,
throw sebesar 0,8 cm, dan heave 9,8 cm. Kelurusan lapisan
disekitar daerah tersebut memiliki kedudukan sekitar N092oE/63oSW,
kemudian ketika dilakukan analisa melalui konsep harding, didapatkan bahwa
sesar tersebut berjenis Sesar Mendatar Kiri. Perhatikan gambar 3.24 berikut
ini.
|
Gambar 3.24 Offset
Bidang Sesar Kedua
3.5.4 Sejarah Geologi
Daerah
Karangsambung yang selama ini kita kenal merupakan suatu kompleks melange,
dimana segala jenis batuan dapat berdampingan dalam lokasi yang berdekatan.
Karangsambung sendiri tersusun dalam beberapa jenis formasi batuan yang
memiliki sejarah geologi yang berbeda-beda. Dalam hal ini, penulis akan
membahas beberapa formasi yang menyusun dua desa yang berada di Kecamatan
Karangsambung, yaitu Desa Kaligending dan Desa Plumbon.
Formasi Waturanda dan Formasi
Penosogan merupakan dua formasi yang menyusun daerah telitian penulis. Formasi
Waturanda ini terbentuk pada Kala Miosen Awal hingga Miosen Tengah, kemudian
selaras di atasnya terendapkanlah Formasi Penosogan yang mulai terbentuk pada
Kala Miosen Tengah. Kedua Formasi ini menunjukkan ciri batuan yang berbeda yang
kemudian hal tersebutlah yang menambah keunikan dari sejarah geologinya.
Untuk Formasi Waturanda
sendiri memiliki ciri batupasir kasar, kemudian keatas berubah menjadi breksi
dengan fragmen vulkanik, seperti misalnya basalt dan andesit dengan masa dasar
batupasir kasar (coarse sand).
(Gambar 3.25)
Gambar 3.25 Ilustrasi
Tempat Pengendapan Formasi Waturanda
Berdasarkan gambar tersebut,
dapat kita ketahui bahwa formasi yang terendapkan pada Miosen Awal hingga
Miosen Tengah ini terbentuk karena pengaruh letusan gunung berapi. Hal inilah
yang menyebabkan kehadiran fragmen vulkanik pada breksi yang ada di formasi
ini. Hal ini menunjukkan bahwa tempat pengendapan dari formasi ini berada
didaerah yang mengarah ke darat karena fragmennya yang besar yang menandakan
dekat dengan sumbernya, yaitu pada daerah depan busur muka cekungan.
Selaras di atas Formasi
Waturanda, terendapkan Formasi Penosogan yang dicirikan dengan perselingan
batupasir gampingan, batulempung, napal dan juga kalkarenit yang dipengaruhi
oleh arus turbidit. Bukan hanya itu, struktur sedimen yang terdapat pada
lapisan batupasir seperti laminasi, planar-cross
bedding, slump, dan lain-lain juga memperkuat interpretasi penulis mengenai
lingkungan pengendapannya. Perhatikan (Gambar 3.26) berikut ini,
Gambar 3.26 Ilustrasi
Proses Pengendapan Formasi Penosogan
Berdasarkan gambar di atas
kita juga dapat mengetahui proses pengendapan dari Formasi Penosogan ini.
Formasi yang mulai terbentuk pada Miosen Tengah ini terendapkan setelah Formasi
Waturanda, namun lebih kearah laut yang lebih dalam seperti pada gambar di atas.
Hal ini berarti, formasi ini terbentuk pada lingkungan laut yang lebih dalam
daripada Formasi Waturanda, yaitu di daerah submarine
fan, tepatnya di bagian inner fan
channel dan middle fan channel.
Hal terebut juga lebih dikuatkan oleh adanya bioturbasi yang berjalan
horizontal, telihat pada lithologi lempung yang cukup mendominasi pada formasi
tersebut.
BAB IV
GEOLOGI PARANGTRITIS
4.1.
Stratigrafi Daerah Parangtritis
Secara
umum daerah Parangtritis berada pada empat formasi geologi, yaitu Aluvium (Qa),
Endapan Merapi Muda (Qmi), Formasi Wonosari (Tmwl), dan Formasi Nglanggran
(Tmn). Aluvium (Qa) dan Endapan Merapi Muda (Qmi) terbentuk pada zaman kuarter.
Formasi Wonosari (Tmwl) terbentuk pada kala Mioesen akhir hingga Pliosen.
Formasi Nglanggran (Tmn) terbentuk pada kala Miosen (Rahardjo et al.,
1995). Setiap formasi geologi tersusun oleh beberapa endapan permukaan maupun
batuan. Formasi aluvium (Qa) terdiri dari kerakal, pasir, serta lanau dan
lempung (Rahardjo et al., 1995). Endapan Merapi Muda (Qmi) di
Parangtritis adalah ekstrusi lava di Parangkusumo. Batuan penyusun Formasi
Wonosari (Tmwl) yang ditemukan adalah satuan batugamping. Satuan batugamping di
sekitar Parangtritis antara lain batugamping berlapis, satuan batugamping
bertekstur kristalin, satuan batugamping bertekstur fragmental, dan batugamping
terumbu. Formasi Nglanggran (Tmn) di sekitar Daerah Parangtritis adalah satuan
breksi andesit (Triana, 2014). Batuan yang telah lapuk kemudian menjadi bahan
induk tanah yang menentukan jenis-jenis tanah di Parangtritis. Struktur geologi
yang dijumpai di Parangtritis adalah sesar mendatar yaitu Sesar Parangkusumo
dengan arah N 300áµ’ W menunjam 80áµ’ ke arah barat daya. Sesar ini mengontrol
pemunculan mata air panas di Desa Parangtritis. Sudut penunjaman sesar
menyebabkan pembukaan zona kekaran (fracturing zones) (Idral et
al., 2003). Struktur sesar di Parangtritis dicirikan oleh lineasi anomali,
kerapatan kontur, pembelokan anomali, dan pengkutuban anomali (negatif dan
positif). Dari analisis keempat ciri tersebut dan anomali magnit total, di
sekitar mata air panas Parangtritis terdapat 5 struktur sesar, 3 di antaranya
berarah barat laut-tenggara dan 2 lainnya berarah timur laut-barat daya. Sesar
yang berarah barat laut-tenggara (Sesar Parangkusumo) merupakan sesar yang
mengontrol pemunculan mata air panas Parangwedang (Idral et al.,
2003). Struktur - struktur Sedimen yang dipengaruhi oleh pasir dan disebabkan
oleh kecepatan arah angin pada (gambar 4.1)
Gambar 4.1. Arah angin pada
pasir disekitar pantai
4.2. Gumuk
Pasir dan Ripple Mark Daerah Parangtritis
Parangtritis berada di Jawa Tengah bagian selatan yang
merupakan ujung bagian selatan dari Cekungan Yogyakarta dan diisi oleh Sedimen
Kuarter dari Gunung Merapi, Dataran Tinggi Wonosari dan Perbukitan Progo.
Keberadaaan gumuk pasir disepanjang pantai menjadi fenomena alam yang menarik
pada pantai selatan Jawa. Sebagai salah satu gumuk pasir yang ada di indonesia
, terdapat bermacam-macam jenis gumuk pasir di pantai ini seperti melengkung
atau barchan, membujur atau longitudinal, serta bentuk parabola
atau parabolic dengan berbagai
karakteristik jika dilihat dari aspek sedimentologi dan sejarah pengendapannya
pada iklim tropis. Untuk mengetahui lebih lanjut karakterisk gumuk maka
dilakukan beberapa metode yaitu observasi peta, pengukuran Ripple Index, pengambilan sample untuk granulometri dengan cara
membelah bagian tengah dari Ripple Mark,
pengukuran kecepatan dan arah angin, coring, serta profil pada singkapan.
Karakteristik sedimentologi dari tipe bedform
berkembang menjadi small scale ripple,
plane bed lamination, dan sandflow cross-stratification menjadi gumuk pasir
dengan nilai ripple index perbandingan rata-rata tinggi : panjang : 1:4,
sedangkan pengukuran arah angin menununjukan secara keseluruhan gumuk pasir ini
berarah Tenggara – Barat Daya. Dapat disimpulkan bahwa perkembangan gumuk pasir
dikontrol oleh intesitas serta proses transportasi partikelnya , selain faktor
angin, vegetasi dan penghalang (IAGI, 2014). Adapun penggambaran ripple mark pada gumuk pasir di
Parangtritis (Gambar 4.2).
Gambar 4.2. Struktur Ripple
Mark
Ripple mark
merupakan salah satu struktur sedimen yang terbentuk akibat aktivitas
erosional. Pengertian ripple itu sendiri adalah suatu bentukan struktur yang
menunjukkan adanya bentukan dari media pasir yang berjarak teratur pada permukaan
pasir atau pada permukaan perlapisan batupasir. Perkembangan dari struktur ini
adalah cross lamination, yang
merupakan pola struktur laminasi internal yang berkembang saat migrasi dari
struktur ripple. Pembentukan struktur
ripple ini berasal dari adanya suatu arus, misalnya arus angin yang membawa
material-material pasir sebagai material transport kemudian dengan mekanisme
pergerakan arus yang khas mengendapkan material transport tadi pada front side suatu ripple. Ripple mark dapat
dipergunakan dalam penentuan arah arus dan penentuan top dan bottom.
Gambar 4.3. Proses angin
yang membentuk Ripple Mark
Didaerah Parangtritis ini
memiliki arah angin yang cukup kuat dikarenakan memiliki intesitas gelombang
yang tinggi serta adanya kenampakan tebing-tebing di sekitar Barat Parangtritis
yang membuat angin bertambah dan dapat membuat pasir-pasir berukuran halus
tertransportasi dan terendapkan ke daerah yang sedikit angin atau daerah
tinggian, lama ke lamaan proses transportasi dan sedimentasi tersebut terus
berlangsung dan membuat tumpukan pasir-pasir dengan volume yang banyak atau
yang disebut dengan Gumuk Pasir (Sand
Dune) yang mana dari gumuk pasir itu juga dapat membentuk struktur sedimen
lainnya seperti Ripple Mark dan Cross Lamination, yang terbentuk karena
terdapat media angin dengan intensitas yang tinggi dengan arah yang tertentu
dapat membentuk suatu struktur sedimen, dan apabila terjadi perubahan arah
angin juga dapat membentuk struktur cross lamination pada pasir di Parangtritis
(Gambar 4.3). Serta, Gumuk pasir ini akan cenderung terbentuk dengan tidak
simetri, dimana bagian yang terkena hembusan angin akan lebih lebar dan landai,
sedangkan bagian yang tidak terkena angin akan berbentuk lebih kecil dan juga
terjal. Apabila di sekitarnya tidak dibatasi oleh vegetasi, maka gumuk pasir
ini akan terus berkembang mengikuti arah angin yang mengenainya. Bentukan dari
gumuk pasir ini juga bermacam-macam, tergantung dari ukuran butir material
sedimen yang dibawa, banyaknya material sedimen, kekuatan dan arah angin yang
mengontrol, serta keadaan vegetasi di sekitarnya. Ketika melakukan pengamatan
langsung di lapangan, penulis mendapatkan bahwa arah angin berasal dari selatan
(S) hingga barat daya (SW) dengan memperhatikan perbedaan rona warna dari pasir
tersebut. Selain melihat dari rona warna gumuk pasir di permukaan, kita juga
dapat menyayat gumuk pasir, tepat dibagian tengahnya untuk melihat arah co-set
dari gembusan gumuk pasir itu. Adapun arah angin di Parangritis ini dapat
dilihat pada gambar 4.4
|
S
|
Gambar 4.4. Arah Angin pada
Gumuk Pasir di Daerah Parangtritis dari Selatan (S) hingga Barat Daya (SW)
Vegetasi yang menutupi permukaan gumuk pasir
menyebabkan tingkat stabilitas lebih tinggi sehingga pergerakan pasir lebih
rendah, hal itu disebabkan vegetasi menahan tenaga angin yang berkerja dan
mengikat material pasir dengan akar.
BAB V
KESIMPULAN
Kesimpulan yang
didapatkan oleh penulis berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya yang ada
di laporan ini, antara lain:
1. Geomorfologi Daerah Karangsambung merupakan perbukitan
yang terdiri dari Formasi Karangsambung, Formasi Totogan, Formasi Penasogan, Komplek Melange Luk Ulo atau Formasi Melange berumuran Pra-tersier dan terdapat struktur sesar left normal slip fault, Lag left slip fault, left
slip fault.
2. Daerah
telitian, yaitu Daerah Kaligending, Plumbon dan Sekitarnya tersusun atas dua
formasi batuan, yaitu Formasi Waturanda dan Formasi Penosogan
3. Geomorfologi
daerah telitian terdiri atas 4 klasifiksi bentuk lahan denudasional, antara
lain (D1)
Atas perbukitan yang landai sampai miring,
(D2)
Perbukitan yang miring sampai curam,
(D6)
Dataran yang Terangkat/Plateaus, (D7)
Kaki lereng
4. Satuan
batuan yang menyusun daerah telitian, yaitu Satuan Breksi Formasi Waturanda dan
Satuan Batu Lempung Formasi Penosogan.
5. Struktur
geologi yang menyusun daerah telitian terdiri dari beberapa sesar, yaitu Sesar
Turun Menganan dan
Sesar Mendatar Kiri.
6. Proses
pembentukan lahan yang terjadi pada daerah telitian berada pada stadia muda
hingga stadia dewasa, yang mana dilihat dari morfologinya yang belum terlalu
dipengaruhi oleh proses erosi yang berlebihan, serta sungai yang ada pada
daerah terebut belum terlalu besar.
7. Sejarah
geologi pengendapan kedua formasi yang menyusun daerah telitian berdasarkan
ciri lithologi, karakteristik, serta struktur sedimen yang terdapat di
dalamnya, antara lain:
-
Formasi Waturanda, yang
memiliki ciri lithologi breksi vulkanik-batupasir dengan lingkungan pengendapan
depan busur muka cekungan .
-
Formasi Penosogan yang
memiliki ciri lithologi batupasir-lempung dengan lingkungan pengendapan submarine fan, tepatnya di bagian inner fan channel dan middle fan channel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar